Mohon tunggu...
Ade Ivan Al Haroma
Ade Ivan Al Haroma Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang lelaki yang belajar menggoreskan pena

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manis Pahitnya, Suka Dukanya, Tawa Tangisnya dalam Kisah Cinta Sang Aktivis

14 Mei 2017   06:48 Diperbarui: 14 Mei 2017   13:44 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalah daya rasa tak bisa ditahan, pikiran pun malayang lewat tulisan. Mulut terkunci rapi, hatipun akhirnya bercerita.

Aktifis, yang terlintas dalam benak kita adalah sosok inspiratif yang selalu aktif. Hatinya tegar bagaikan karang di lautan, tak sedikit pun mengeluh, walau setiap waktu dihempas ombak diterjang badai. Baginya, setiap masalah kehidupan adalah bara api yang membuat besi mudah ditempa menjadi sebuah belati. Akan tetapi, soal cinta lain pula ceritanya. Cinta bukan hanya berjuta rasa, tetapi juga yang melatari berbagai tindakan dan keputusan. Dia datang secara perlahan, tak bisa diduga, dan tiba-tiba saja kita sudah berada dalam pelukan asmara. Manis-pahitnya. Suka-dukanya. Tawa dan tangisnya. Lalu, bagaimana ketika seorang aktivis jatuh cinta ? Ceritanya pasti tidak sederhana. Saat idealisme bertemu dengan kerinduan yang mengharu biru, semua menjadi tidak bisa diduga ke mana arahnya.

Cerita ini dimulai dari pertemuan tak sengaja dengan seorang mahasiswi di warkop kampus di suatu siang. Gadis ini mirip dengan perempuan dalam mimpiku. Dia bernama ….. (sebut saja Bunga) anak Fakultas Sastra. Harapanku kepadanya mulai meninggi ketika aku sukses melukisnya dengan mata terpejam. Namun harapanku terbentur sebuah kenyataan. Tetapi, aku percaya cinta tidak akan pernah salah mengenali tuannya.

Aku mulai mengenalnya saat dia mengikuti pengkaderan dasar sebuah organisasi mahasiswa islam. Saat itu ia mempresentasikan hasil diskusi materi pendidikan keislaman. Aku yakin sekali saat itu ia telah menghipnotis mahasiswa yang hadir hari itu. Bukan dengan sihir melainkan dengan segala kecerdasan yang terpancar saat ia menyampaikan hasil diskusi itu. Aku adalah salah satunya. Diam-diam, sejak saat itu aku mengagumi sosoknya. Anggun, sholeh, ramah dan cerdas.

Seiring berjalannya waktu kebersamaan kami di organisasi, perasaan kagum itu berubah menjadi sebuah rasa yang aku masih malu sekali menyebutnya cinta. Maka aku menganggapnya hanya perasaan suka saja. Tapi apalah daya, aku tidak begitu pintar membohongi diri sendiri. Maka aku menyerah dan jujur pada diriku sendiri bahwa mulai tumbuh bibit-bibit cinta di tanah hati yang sedang subur ini. Hal ini membuatku merasa canggung setiap kali dekat dengan gadis sholehah nan rupawan itu. Karena itulah aku selalu berusaha tampil sesempurna mungkin di depannya. Hal ini bukannya tak beralasan. Aku tahu, diam-diam banyak pria yang juga menaruh hati padanya.

Suatu hari kami ada janji. Tepat jam lima sore ia datang. Saat ia muncul di hadapanku, seperti biasa, tubuhku menjadi kaku bagaikan dipaku. dan lidahku begitu kelu. Padahal sebelumnya, aku mampu menceritakan dengan baik isi buku pemberiannya di hadapan kucing yang duduk di sebelahku. Namun kali ini, semua kata-kata itu seolah enggan keluar, malu. Seperti sebelumnya, ia duduk di sampingku. Kali ini ia mengenakan kacamatanya. Dua bola mata itu selalu malu untuk menatap mataku. Kami pun mulai berdiskusi di bawah pohon sawo duren yang sore itu nampak indah dan megah dengan warna daun keemasannya.

Kami banyak bercerita sore itu. Tentang buku. Tentang sastra. Dan tentang cita-cita kami untuk menjadi seorang penulis. Kami memiliki banyak kemiripan di beberapa hal. Dan itu membuatku semakin yakin bahwa sebenarnya Tuhan sedang mendekatkan aku dengan belahan jiwaku yang lainnya, yang dulu terpisah. Kami mengakhiri pertemuan hari itu saat adzan magrib berkumandang dengan merdunya. Dan yang terakhir kulihat hari itu, yang masih kuingat betul, adalah tatapan mata yang begitu tajam dan memesona.

***

Kehidupan terus berjalan, detik demi detik berlalu dan tanpa terasa aku dan dia telah mengukir banyak cerita dan kenangan di lembar sejarah kehidupan kami. Semakin hari bibit cinta yang tak sengaja kusemai, kian tumbuh subur. Ia pun selalu memberi sinyal-sinyal baik. Dalam hati aku berkata, tunggu aku hingga waktunya tiba aku akan datang meminta izin pada bapakmu untuk menjadikanmu yang halal bagiku.

Namun yang tak pernah aku duga-duga sebelumnya terjadi. Malam keakraban yang sengaja diadakan oleh organisasi mahasiswa islam tempat aku dan ia banyak belajar adalah momen yang seharusnya tidak perlu ada. Namun ternyata takdir mengharuskannya ada dan semua akhirnya terbongkar.

Malam itu, tepat pukul delapan malam aku menuju lapangan tempat diadakannya malam keakraban. Dari kejauhan aku melihat api unggun yang berkobar gagah dikelilingi puluhan teman-teman seperjuanganku di organisasi. Tidak sengaja, aku mendengar percakapan antara dua orang wanita di dalam satu-satunya ruang kelas kampus yang terbuka pintunya dan lampunya menyala ketika aku hampir melintas di depannya. Aku sengaja menghentikan langkah karena aku mengenal betul dua suara itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun