Bunda kenapa aku gagal? Pernahkah mendengar lontarkan pertanyaan dari seseorang yang tak pernah tahu bagaimana cara tepat memberi jawaban. Mungkin hanya teka teki ditemani desiran hati yang senyap dibumbui hancur lebur bagai gelas pecah yang berserakan berhamburan. Pernahkan empati ikut merasakan?
Pijakan goyang seperti bernaung di atap yang runtuh. Semua tak bersisa, bahkan air mata pun serasa ikut mengering. Tatkala ada kabar menyakitkan "gagal" walau diracik dengan irisan kata indah mendayu merdu. Intinya tetap sama tak bisa merubah keadaan.
Adakah yang bisa memberi alasan kenapa gagal. Haruskah ditanyakan kepada penunggu agar kolaborasi mengintip jawaban teman? Ah, mustahil itu dilakukan. Terlalu memujamu setinggi langit, tak memungkinkan. Dengan jawaban "siap" sudah mewakilkan.
Jangan membayangkan semua indah dan baik-baik saja. Walau semua syarat sudah dilampirkan. Niat, kemampuan, dan kemauan sudah dipaketkan. Empat kompetensi sudah dikirimkan.
Dalam bayangan tak akan ada yang bisa mengganjal. Di pelupuk mata, sudah dirancang gebrakan yang akan digunakan. Kuda-kuda sudah disiapkan. Jurus penangkal sudah dikumpulkan. Strategi sudah dibukukan. Semua tinggal menunggu bendera berkibar.
Ternyata perjalanan masih panjang. Jembatan untuk melenggang terganjal portal. Karir masih harus direngkuh ribuan kilometer lagi. Dengan melakukan berbagai usaha tanpa kenal lelah. Pergilah, kisah yang menyakitkan.
Berlapang dada menerima rangkaian peristiwa dengan sabar dan ikhlas. Semua yang menimpa pasti bernilai kebaikan yang tersembunyi. Ada rahasia indah diluar nalar. Biarlah menjadi kenangan dan pembelajaran.
Kenapa gagal? Sudah didapatkan jawaban. Walau tak diminta semua alasan sudah masuk sarung tangan. Terang benderang, mari putuskan. Berjuang dalam ikhtiar dilengkapi doa dan kepasrahan. Menjadi upaya yang dijalankan.Â
Bandung Barat, 24-11-020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H