"Singkong, singkong." terdengar teriakan seorang bapak dengan keranjang terbuat dari bambu yang dipikul. Bahunya terlihat melengkung, mungkin karena keseringan menahan rancatan (pikulan dari bambu).
Tanpa komando, saya beranjak menahan," Pak, 5.000 saja," kataku.
Dengan sigap dilayanilah sesuai pesanan.
"Ini singkong baru metik kemarin sore, pasti kalau digoreng akan mempur (pulen)."
Seketika ingatan saya langsung melayang teringat penjelasan bu guru ketika saya SMP,"Manihot esculenta adalah nama latin singkong."
Di kampung saya, di seputar daerah Tasikmalaya, singkong bisa diolah menjadi sajian beraneka nama, seperti: comro, comet, misro, antewor, gogolong, gemblong, awug, katimus, putri noong, gatot, oyek, peuyeum, gegetuk, kiripik, kicimpring, rangginang, dan opak.
Bagi generasi lampau, pasti kental dengan jenis makanan tersebut. Â
Sedangkan mereka generasi sekarang, ada sedikit kegelisahan, apakah mereka masih mengenalnya?
Ah, jangan terlalu berburuk sangka. Saya yakin mereka sudah sering menikmatinya, hanya namanya saja yang berbeda. Sekarang ini muncul kreativitas baru dari anak muda yang mengulik bahan makanan yang tersedia dimodifikasi supaya sajiannya lebih kekinian.
Tetapi jika mereka belum mengenalnya, ini menjadi PR untuk orang tua, memulai mengenalkan makanan tradisional yang ada di daerah masing-masing supaya dikembangkan.
Atau ini salah satu kelengahan kita sebagai orang tua, yang lebih memberikan kebutuhan jasmani anak, tanpa memasukkan niai-nilai kearifan lokal yang dimiliki sebagai ciri khas suatu daerah untuk dilestarikan.