Dari beberapa kejadian di negeri kita yang tersiar luas di berbagai media massa, masihkah ada gambaran orang Indonesia yang biasa kita dengar dikatakan oleh guru atau media pariwisata? Tergerak saya menulis artikel ini setelah membaca tulisan Bang Sutrisno tentang pudarnya keramahan di Indonesia?
Kesantunan bangsa kita menurut sejarah yang saya pelajari sudah menjadi mendarah daging. Kesantunan ini bisa dilihat dari begitu terbukanya bangsa Indonesia dahulu kala saat agama-agama masuk. Jejak-jejak spiritualitas kuno begitu membuka diri atas agama modern yang silih datang. Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katholik, dan Kong Hu Chu. Mengapa begitu membuka diri?
Alasan sederhana, menurut saya, kekayaan dan keragaman alam di Nusantara. Bangsa kita bukan bangsa yang miskin alamnya, sehingga tidak pernah terlintas untuk mencari dan mengeruk kekayaan alam bangsa lain. Bangsa kita adalah bangsa yang penuh rasa syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Maka, satu yang terjadi adalah kesantunan terhadap orang lain. Menghormati hak dan kewajiban. Terjadilah saling berhubungan, saling berketergantungan hidup satu sama lain. Muncullah simpul-simpul perdagangan di Nusantara yang terhubung sampai ke India dan China. Bangsa kita tidak melihat siapa yang menjual, tetapi apa yang dijual. Tentu niat baik menjadi acuan. Saya ingat suatu masa pernah terjadi kekerasan terhadap seorang utusan kerajaan China. Kupingnya dipotong. Apakah hilang kesantunan pada saat itu? Saya pikir tidak. Kedatangan utusan itu untuk menyampaikan maksud agar kerajaan Nusantara mau menjadi bagian dari kerajaan di bawah kekuasaan kerajaan China. Bagi saya, tindakan tersebut memang kejam, tetapi merendahkan martabat bangsa yang berdaulat jauh lebih kejam.
Kesadaran akan perbedaan. Ini juga yang menjadi dasar yang kokoh bagi kesantunan bangsa kita. Relasi-relasi kuno bangsa ini menyadarkan masyarakat akan beragam perbedaan. Suku, bahasa, budaya, warna kulit, bentuk badan, agama, dan kepercayaan. Semua itu tak jadi soal, karena mereka disatukan kebutuhan dan tujuan yang sama. Memenuhi kebutuhan standar hidup manusia. Ketika kebutuhan dasar ini terganggu, maka tak heran terjadi pemberontakan, kekacauan, dan sebagainya.
Inilah akar utama kehancuran kesantunan bangsa. Kesempatan hidup yang terhimpit, eksploitasi alam habis-habisan, keadilan hukum yang tak memihak pada keadilan nurani (nanti akan menjadi tulisan saya berikutnya). Maka diperlukanlah kesetaraan. Tanpa ada kesetaraan, jarak selalu melingkupi diri. Kesetaraan ini bukan bersifat materi, tetapi kesetaraan hak hidup dan mendapatkan kebaikan dari kehidupan. Dari kesetaraan ini muncul rasa saling menghormati, menghargai. Dan dengan sendirinya rasa santun itu pun terjaga.
Telah pupuskah kita terhadap kesantunan bangsa kita? Tidak perlu terburu pesimistik, namun kita perlu membuka mata dan berusaha menyemaikan benih kesantunan pada generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H