Kemarin mendapat kabar dari salah seorang kawan di kampung bahwa toko-toko tutup. Ini karena penerapan PPKM Darurat. Para petugas berpatroli untuk memastikan tidak ada toko yang buka. Â Ini saya lihat juga dari video yang kawan saya kirim.
Kemudian cerita tidak berhenti di situ. Konon katanya ada tukang bubur yang kena denda sekian ratus ribu  rupiah akibat pembeli makan di tempat.
Beberapa kawan yang lain mengeluh karena tidak bisa berjualan. Tidak berjualan berarti tidak ada penghasilan. Dan tidak ada penghasilan berarti mengancam urusan dapur.
Imbasnya pun semakin melebar. Tukang becak, tukang parkir, tukang ojeg, calo-calo emas, pedagang kaki seribu, eeh salah pedagang kaki lima, tukang bubur tidak pakai kacang daun bawangnya yang banyak sambalnya sedikit saja, tukang soto, tukang lengko, dan masih banyak lagi yang kena imbas. Mereka terancam penghasilannya.
PPKM Darurat bukan hanya diterapkan di kampung asal saya, tetapi di beberapa daerah juga menerapkannya. Tetapi prakteknya tidak separah seperti yang terjadi di kampung asal saya.
Kebijakan PPKM Darurat dibuat untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Tetapi dampaknya malah penghasilan sebagian masyarakat yang terkena.
Oke lah, misalkan PPKM Darurat  diterapkan. Hal ini harus diikuti dengan kompensasi untuk sebagian besar masyarakat yang terimbas. Entah itu dengan memberikan bantuan langsung berupa uang tunai, atau mungkin dalam bentuk lain. Yang pasti kebijakan ini harus diiringi pengganti agar masyarakat bisa mempertahankan  dapurnya tetap "ngebul ".
Dan ternyata kompensasi itu tidak ada.Â
Bukan kah Pancasila masih menjadi dasar sekaligus tujuan kita berbangsa dan bernegara? Atau memang sudah berubah? Jelas-jelas tertulis dalam sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nah, di mana letak keadilannya kebijakan PPKM Darurat ini?
Mungkin PPKM Darurat tidak terlalu mengganggu bagi mereka yang memiliki tabungan. Tetapi bagi sebagian besar masyarakat?
Saya jadi teringat filsafat absurditas-nya Albert Camus. Absurditas manusia memiliki dua sisi. Pada satu sisi kita semua menuju masa depan, tetapi di sisi lain masa depan itu membawa kita lebih dekat pada kematian.