Kita sangat senang dengan simbol. Maka tidak berlebihan jika Ernst Cassirer, pada suatu sore yang agak lembab, mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Binatang yang selalu berurusan dengan simbol.
Bahkan lebih jauh lagi manusia memerlukan alat untuk menerjemahkan simbol-simbol tersebut. Maka lahirlah Semiotika; alat untuk merengkuh makna dari sebuah simbol. Yang salah satu ahlinya adalah Umberto Eco, penulis The Name of the Rose yang melegenda itu.
Simbol digunakan manusia sebagai alat komunikasi antar sesama. Usianya setua dengan peradaban manusia. Bangsa Sumeria kuno di Mesopotamia selatan  mewariskan piktograf sebagai jejak sejarah bagaimana simbol menjadi alat untuk mewakili perasaan dan pikiran mereka. Di dinding-dinding gua banyak ditemukan berbagai macam gambar yang mereka buat. Dan itu semua adalah berupa simbol.
Tradisi simbol pun kemudian marak lagi di era Milenial. Dalam berkomunikasi kita lebih banyak menggunakan simbol. Entah itu: Emoji, Emoticon, ataupun Stiker. Kita lebih nyaman menggunakannya dibanding harus mengetik huruf per huruf.
Gembira, sedih, marah, malu, atau sabar bisa dengan mudah tersampaikan hanya dengan memilih salah satu simbol yang mewakilinya. Dan orang pun akan tahu apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan saat itu hanya dengan melihat simbol. Â Ada kesepakatan bersama bahwa, misal, jika sedang marah bisa diwakilkan dengan gambar berupa wajah berwarna marah, eeh merah. Juga perasaan-perasaan lainnya.
Kesepakatan bersama ini lebih bersifat psikis. Artinya orang bisa saja menggunakan sebuah simbol, tetapi simbol tersebut tidak mewakili perasaannya ketika itu. Ambil contoh: Saya banyak mengikuti grup di Whatsapp. Di beberapa grup itu saya sering kali menggunakan simbol marah setiap mengetik sebuah kata atau kalimat. Padahal kenyataannya saya tidak sedang marah.
Mungkin untuk kali pertama, Â anggota grup Whatsapp tersebut akan menduga saya sedang marah, karena melihat simbol orang marah yang saya pakai. Tetapi karena saya seringkali menggunakan simbol marah itu diberbagai kesempatan chating, Â maka lama kelamaan mereka akan memaknai berbeda simbol marah yang dipakai oleh saya itu.
Dalam teori psikologi behavioristik, apa yang dilakukan saya itu disebut pengkondisian asosiatif stimulus-respons.  Jadi, saya menstimulasi publik atau anggota grup Whatsapp yang saya ikuti dengan terus menerus menggunakan simbol marah untuk hal berbeda untuk mendapatkan respon yang sesuai dengan asosiasi saya. Dan percobaan saya  ini ternyata berhasil.  Mereka tidak lagi mengartikan simbol marah yang saya pakai sebagai ekspresi marah. Tetapi mereka mengartikan sebagai ekspresi lain.
Sebuah simbol hanya akan dimaknai berdasarkan si pengirim dan si penerima simbol. Bukan atas simbolnya sendiri. Simbol tidak akan memiliki makna apa-apa tanpa interpretasi dari si pengirim maupun si penerima. Jadi, ada kesepakatan baru di atas kesepakatan yang sudah ada. Dan kesepakatan baru atas simbol bersifat ekslusif.
Selamat memaknai simbol di era milenial ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H