Oleh: Ade Imam Julipar
05-08-18
Banyak artis yang terjun ke dunia politik. Baik atas kemauan sendiri maupun dipinang oleh partai. Mereka masuk salah satu partai, kemudian mencalonkan diri: baik menjadi calon kepala daerah maupun calon legislatif. Yang pasti dua-duanya adalah jabatan publik yang diperoleh melalui politik praktis.
 Ini kabar burung yang saya dengar. Bukan hanya pada pemilu sekarang saja. Di pemilu-pemilu sebelumnya pun kerap terdengar dan terjadi. Sebagian dari mereka mendapat suara, dan melenggang menjadi anggota dewan atau kepala daerah. Sebagian lagi kalah, kembali menjadi artis seperti biasa. Atau bahkan sama sekali banting stir: berubah profesi.
Bicara partai politik adalah bicara massa. Bicara pendukung. Tanpa massa, Â partai politik akan tergerus. Dan ini diperkuat oleh undang-undang yang ada. Kalau tidak memperoleh sekian persen suara, maka partai dilikuidasi. Harus tutup buku.
Kekhawatiran inilah yang menjadi pokok pangkal kenapa partai mengeluarkan strategi mencari para pendulang suara. Dan pilihannya jatuh pada: Artis. Artis diyakini bisa menggemukan kantong-kantong suara mereka. Yang pada gilirannya target untuk menduduki jabatan politis pun akan mudah terengkuh.
Artis merupakan seseorang yang sudah dikenal masyarakat. Mereka terbiasa berlalu lalang di media massa. Ibarat sebuah barang dagangan, artis adalah produk yang sudah branded. Jadi, toko hanya tinggal memajangnya di etalase, para pembeli pun tanpa disuruh akan dengan senang hati membelinya. Inilah logika yang dipakai para petinggi partai. Juga artis itu sendiri. Ada tercium pragmatisme disana.
Mereka akan dengan mudah meraup suara dibanding yang lain, walaupun yang lainnya ini memang berkecimpung di wilayah politik. Karena nama mereka sudah akrab di telinga masyarakat. Berbeda dengan seorang calon yang bukan berasal dari kalangan artis. Mereka harus bersusah payah melakukan sosialisasi agar nama mereka dikenal. Dan ini tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Memang tidak ada yang salah ketika seorang artis ada di dunia politik. Yang menjadi persoalan adalah apakah kapabilitas si artis itu sudah mencukupi? Jika jawabannya: Ya, maka tidak ada yang salah dengan ini. Sudah terkenal, juga mempunyai kemampuan di bidang politik. Persoalan selesai.
Atau mungkin yang terjadi adalah  hanya sekadar memanfaatkan namanya saja untuk meraup suara? Jika seperti yang disebut belakangan kenyataannya, ini yang menjadi masalah besar. Yang rugi adalah masyarakat yang sudah memilihnya. Dan bukan hanya pemilihnya, tetapi masyarakat yang tidak memilihnya pun akan terkena imbasnya. Karena kalau sudah jadi, mau tidak mau, dia akan mewakili daerah dimana dia mencalonkan.
Memang sebuah dilema. Di satu sisi, ketika masyarakat memilih artis, mereka sudah mengenal siapa yang dipilihnya. Dan di sisi lain, masyarakat pasti tidak mau memilih orang yang bukan artis, karena mereka tidak kenal, walaupun orang tersebut mungkin saja seseorang yang bisa menyuarakan suara mereka. Mungkin  kita masih ingat petuah Kakek kita yang mengatakan: Tak kenal maka tak sayang. Ya, bagaimana kita mau memilih seseorang jika kita tidak kenal. Tetapi siapa yang menjamin?
Semuanya penuh ketidakpastian. Memang politik adalah sesuatu yang tidak pasti. Dunia yang mengidap berbagai kemungkinan. Dunia sim salabim. Bahkan seorang kawan pernah mengatakan: dunia politik adalah dunia dimana petruk bisa jadi raja, dan raja bisa jadi petruk.
Ungkapan ini berasal dari salah satu judul lakon pewayangan yang judulnya persis sama kalau dalam Indonesia. Kalau dalam Jawanya: Petruk dadi Ratu. Yang lakonnya menceritakan kekacauan ketika Petruk menjadi raja. Jadi raja karena jelmaan. Tanpa melalui proses. Instan.
Tentu kita masih ingat ketika kita kecil, di tahun 80-an, ada acara televisi, dan stasiun televisi itu cuma satu-satunya yaitu TVRI, ada acara yang berjudul Ria Jenaka. Dan itu ditayangkan TVRI setiap minggu pagi. Romantisme yang sangat manis bila mengenang masa-masa kecil. Ria Jenaka menceritakan lelucon-lelucon yang terjadi antara: Semar, Gareng, Bagong, dan tentu saja: Petruk.
Petruk adalah tokoh pewayangan dalam wayang Jawa. Tokoh Petruk ini tidak kita temui dalam kitab Mahabrata. Karena dia adalah hasil kreasi asli masyarakat Jawa. Petruk salah satu dari beberapa punakawan. Dan punakawan pun hanya ada di  wayang Jawa. Tidak ada cerita tentang punakawan dalam Mahabrata atau Ramayana.
Tahu artinya punakawan? Punakawan adalah sejenis profesi penghibur. Bisa saja dia: Badut, tukang lawak, atau tukang stand up comedy. Bahkan: seorang artis bisa dikategorikan sebagai punakawan. Ya, punakawan yang bernama Petruk itu menjadi raja. Dengan cepat kita bisa melihat, ternyata pola ini berulang di zaman now. Pola itu bernama: Petruk jadi raja.
Salam Dari Benteng Betawi
Â