Oleh: Ade Imam Julipar
01-04-18
Mungkin kita masih ingat ketika di SD. Setiap akan pulang sekolah wali kelas selalu memimpin do'a dengan membaca surat Al-Ashr bersama-sama. Dengan suara nyaris berteriak --teriakan ini lebih pada kegembiraan karena sudah terlepas dari belenggu jam-jam sekolah yang sangat menyiksa bagi beberapa teman sekelas-- kita mengikuti kata demi kata dari surat Al-Ashr. Dan itu tentu dalam Arab.
Al-Ashr dimaknai hanya sebagai penutup hari di sekolah dan pembuka gerbang kesenangan. Karena setelah membacakan Al-Ashr kita langsung pulang ke rumah masing-masing. Dan hal yang mengganggu pikiran selama belajar di sekolah pun hilang sudah. Tergantikan dengan kenyataan: kita bisa bermain sepuasnya dengan teman-teman tetangga rumah. Entah itu bermain: kelereng, layang-layang, gambar-gambaran, atau permainan lainnya.
Dan anehnya, permainan itu ada musimnya. Jadi, tidak bisa seenaknya kita. Ada aturan tidak tertulis di kampung saya. Misal, selama sebulan atau dua bulan lagi musim kelerang. Maka semua anak sepermainan saya bermain kelereng. Tiba musim main layang-layang, semua anak bermain layang-layang. Dan juga gambar-gambaran, ada musimnya.Â
Pergantian musim permainan itu bisa dilihat dari banyaknya anak-anak yang main. Kalau sudah sedikit yang main, itu pertanda musim permainan akan berganti. Begitu seterusnya. Memang masa kecil masa penuh kenangan. Dimana kita hanya berpikir bermain saja. Kalaupun berpikir pelajaran sekolah cuma secuil saja. Di otak kita yang ada hanya bermain.
Kadang sempat terbersit dalam benak kita, kalau saja waktu bisa diputar lagi ke belakang, kita tentu ingin kembali ke masa kanak-kanak itu. Tetapi desain mesin waktu belum lagi ada. Masih hanya sebatas imajinasi para perancang mesin di luar sana. Kenyataannya saat ini memang waktu tidak bisa berbalik ke belakang. Yang ada, waktu akan terus bergerak ke depan.
Kemudian waktupun berjalan seperti adanya. Kita tumbuh dan berkembang. Seiring pertumbuhan dan perkembangan itu, pemahaman pun terbentuk. Belakangan kita tahu ternyata surah Al --Ashr itu pada ayat pertamanya merupakan sumpah Allah. Ya, Allah telah bersumpah: Demi Waktu!
Sedemikian pentingnya waktu dalam konsep teologi Islam. Imam Syafi'i pernah berujar: "Waktu ibarat pedang, jika engkau tidak menebasnya maka ialah yang menebasmu. Dan jiwamu jika tidak kau sibukkan di dalam kebenaran maka ia akan menyibukkanmu dalam kebatilan."
Mungkin dengan redaksi berbeda bisa dikatakan: apakah kita yang akan mengendalikan waktu, atau kita yang akan dikendalikan waktu. Disinilah timbul sebuah istilah: Manajemen Waktu. Bagaimana kita mengelola waktu. Karena setiap dan semua dari kita mendapat jatah waktu yang sama. Kita mendapat jatah waktu 24 jam sehari. Tak peduli siapapun kita dan apapun kita. Entah itu pejabat atau tukang ketupat. Entah itu bankir ataupun tukang parkir. Semua mendapat jatah waktu yang sama: sehari 24 jam.
Sanggahan tak terelakan muncul dari sini. Beberapa di antara kita mengatakan tidak punya waktu. Walaupun sama diberi waktu 24 jam sehari, mereka mengatakan tidak punya waktu. Atau kalaupun punya, waktu mereka singkat dan sempit. Pernyataan ini bersifat subyektif. Lha, kenyataaannya semua dapat jatah sama.