Tadi pagi saya agak banyak omong dengan HRD. Sebelum saya selesai bicara dia selalu memotong pembicaraan duluan. Jadi, saya agak kesulitan untuk menjelaskan apa yang hendak saya sampaikan. Suasana pun jadi agak memanas. Padahal hari belum lagi siang. Sisa-sisa embun di taman depan kantor masih bertengger di beberapa pucuk daun-daun hijau.
Kemarin saya tidak masuk kerja. Kaki terkilir. Akibat pagi-pagi buta selepas sholat subuh naik ke atas genteng memeriksa sisi rumah sebelah kanan. Karena ketika hujan turun agak rembes ke dalam kamar depan. Pas turun dari atas, telapak kaki saya tidak rata dengan dinding pembatas halaman tempat pijakan saya turun. Telapak kaki agak miring. Beban tubuh tidak seimbang. Karena tekanan menjadi lebih besar.
Bukankah kita pernah diajarkan oleh guru fisika kita waktu SMP bahwa rumus tekanan adalah P=F/A. Di mana P adalah tekanan, F adalah gaya. Dan A adalah area. Jadi, semakin sempit areanya, akan semakin besar tekanannya. Berdiri dengan posisi hanya mengandalkan pinggir luar telapak kaki menyebabkan tekanan sangat besar, dan kaki pun tak mampu menahan lagi. Terkilir lah akhirnya.
Nah, inilah pokok pangkal masalah kenapa saya berdebat dengan HRD. Dia minta saya menyerahkan surat dokter yang menyatakan bahwa saya sakit. Kalau tidak ada surat dokter berarti itu termasuk kategori: izin. Artinya, gaji saya harus dipotong sehari. Ada pilihan lain, yaitu saya ambil cuti saya untuk menambal hari di mana saya tidak masuk. Dua pilihan itu sama-sama tidak mengenakan --untuk tidak mengatakan merugikan.
Saya sakit karena terkilir. Dan saya sembuh karena diurut. Bukan ke dokter. Dan kemarin itu saya tidak perlu ke dokter. Karena selesai diurut, saya sembuh total. Nah, apakah saya harus meminta surat izin ke tukang urut? Belum ada dalam sejarah umat manusia ini tukang urut mengeluarkan sebuah surat yang menyatakan bahwa pasiennya sudah diurut di tempat mereka.
Memang berurusan dengan manajemen sebuah perusahaan agak rumit. Tidak sesederhana berurusan dengan orang per orang. Selalu ada tuntutan semua dan segala dalam bentuk data tertulis. Entah itu: struk bensin, struk tol, struk makan, dan lain-lain. Semua harus tercatat. Kalau tidak, uang pribadi sebagai gantinya. Walau pun kita sedang mengerjakan tugas dari kantor. Tanpa struk akan dianggap sebuah kebohongan.
Begitu pun dengan seseorang yang sakit tanpa ada surat dokter adalah: hoaks. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para buruh di perusahaan dengan manajemen harga mati seperti itu. Para buruh yang hanya mengandalkan gaji sebagai mata pencahariannya. Dan pada satu ketika di suatu waktu seorang buruh terkilir, dan tidak ke dokter. Hanya diurut saja. Karena terkilir cukup dengan diurut. Bisa dipastikan nasibnya: sudah sakit, dipotong pula gajinya. Ibarat peribahasa: sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Akhirnya, mengutip Dilan: Jangan sakit para buruh, ini berat. Kau takkan kuat. Biar mereka saja.
Salam dari Benteng Betawi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H