Anggaplah ada  seorang kawan kita merancang mesin waktu. Dan mesin waktu itu berfungsi dengan baik. Dia bisa membawa kita ke masa lalu maupun ke masa mendatang. Kemudian penemuannya ini diakui dunia ilmu pengetahuan sebagai salah satu penemuan yang sangat genial di abad ini. Penemuannya telah menjawab hasrat terdalam dari imajinasi umat manusia.
Dan kawan kita yang penemu ini, anehnya, tidak tahu tentang Einstien. Atau dia tidak tahu tentang: Newton, Gallileo, Watt, Edison, dan Wright Bersaudara. Ketidaktahuannya tentang ilmuwan-ilmuwan terdahulu, tidak sedikitpun menghilangkan kompetensinya atas apa yang telah ditemukannya. Ya, dia akan tetap dianggap sebagai salah satu ilmuwan karena telah merancang dan menemukan mesin waktu.
Inilah kelebihan dari ilmu pengetahuan. Orang yang bergelut di dalamnya tidak mesti mengetahui kesejarahan ilmu yang dia miliki. Dia bebas. Tak terikat oleh sejarah masa lampau bidang garapannya. Kadar keilmuannya akan tetap ada meskipun dia tercerabut dari akar sejarahnya. Dan ini sah-sah saja. Orang hanya akan melihat dari hasil karya keilmuannya.
Mungkin kita masih ingat betapa jeniusnya ketika Steve Jobs menemukan Aplle. Dengan kecerdasan luar biasa Jobs memperkenalkan kepada dunia sebuah kotak yang berisi rangkaian elektronik yang bernama: Komputer. Dan itu adalah sebuah revolusi besar bagi umat manusia. Sebuah lompatan yang tak terbayangkan sebelumnya dalam benak manusia. Dan untuk itu, Jobs tidak harus mengenal Archimides. Jobs tidak harus mengenal Faraday. Dia tidak harus mengenal ilmuwan-ilmuwan yang pernah hidup di muka bumi ini. Walaupun dia tidak tahu dan mengenal ilmuwan-ilmuwan itu, keilmuwanan-nya tak terbantahkan sedikitpun.
Hal ini jauh berbeda dengan orang yang berkecimpung dalam filsafat. Ketika seseorang menceburkan diri ke dalam dunia filsafat, ada tuntutan dia harus mengetahui kesejarahan pemikirannya. Dia harus tahu Thales. Dia harus  tahu Trio filsuf Yunani klasik: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dia harus tahu semua pemikir idealisme dan materialisme.
Sebuah pemikiran filsafat yang belakangan muncul, akan ditarik benang merahnya ke belakang. Pemikiran itu tidak boleh tercerabut dari akar sejarahnya. Orang tak bisa menggelontorkan pemikiran tentang kritik atas kapitalisme tanpa mengetahui Marx. Â Juga, sebuah pemikiran tentang idealisme, tak akan terlepas dari Hegel. Begitu seterusnya. Selalu ada dialog dengan pemikiran lama. Pemikiran yang mengalasi filsafat baru.
Sekarang kita mafhum, kenapa banyak literatur-literatur filsafat selalu  ditulis satu paket dengan pada mulanya. Dengan sejarahnya. Jika sebuah pemikiran filsafat muncul, suka tidak suka, itu adalah hasil dari meneruskan pemikiran lama yang sudah ada.
Mungkin filsuf yang banyak disebut namanya adalah Plato. Karena dia banyak menulis buku-buku filsafat. Berbeda dengan gurunya: Socrates. Kita mengenal Socrates pun dari tulisan-tulisan Plato. Tak ada satupun buku filsafat yang ditulis Socrates.
Bahkan yang lebih ekstrim lagi ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa: Filsafat setelah Plato hanyalah merupakan catatan-catatan kaki saja atas karya-karyanya. Ini bisa diartikan betapa berpengaruhnya Plato dalam dunia filsafat, sehingga karya-karya setelahnya hanya bersifat menjelaskan saja dari seluruh filsafat Plato. Ini hanya menegaskan bahwa filsafat memang tidak bisa lari dari sejarahnya.
Jadi, seorang ilmuwan bisa tercerabut dari sejarah keilmuwanan-nya, tapi tidak dengan filsuf.
Salam Dari Benteng Betawi