Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi penulis, bersamaan dengan itu, jatuh pula kutukan atasnya. Kutukan itu sebuah ketidakbebasan berpikir. Hanya ada dua dalam pikirannya. Yang pertama: menulis. Dan pikiran kedua: Ketika dia tidak menulis, dia akan berpikir tentang menulis.
Apapun yang ter-indera-i olehnya, itu akan menjadi bahan tulisan. Sehingga kepekaan akan realitas pun, secara tidak sadar, akan muncul. Dan itu pada tingkat daya serap yang lebih tinggi daripada sebelum menjadi penulis. Memang kita tidak bisa menutup mata, ketika sebelum memutuskan menjadi penulis, kepekaan itu ada. Tapi pada tingkat yang lebih rendah. Berbeda dengan kepekaan seorang penulis.
Seorang penulis tidak hanya bisa melihat sesuatu dari cangkangnya saja. Lebih dari itu. Ia dapat menerabas masuk ke dalam sesuatu di belakang realitas yang di-inderai- nya. Ia bisa membaui hakikat dibalik sesuatu. Kemampuan ini muncul karena tuntutan dari sebuah tulisan yang dibuatnya. Tidak cukup sebuah tulisan hanya menggambarkan sebuah realitas. Dia akan bergerak lebih jauh. Mengungkap dan menyingkap hal tersembunyi dalam sebuah realitas. Yang pada gilirannya, hasil ungkapan dan singkapan itu ia suguhkan kepada pembaca tulisannya sebagai tangkapan pemahaman terhadap realitas tersebut.
Tugas kepenulisan memang tidaklah mudah. Selain tuntutan fungsi sosial yang diidap, dalam dirinya sendiri sudah terkena kutukan. Hanya menulis dan berpikir tentang menulis. Â
Mungkin ada beberapa di antara orang yang membantah. Ah, tidak seperti itu ceritanya. Bantahan ini muncul dari penulis yang hanya menulis dari cangkang realitasnya saja. Bukan dari isinya. Harus ditarik garis tegas: mana cangkang dan mana isi.
Karena menulis hanya berkutat pada cangkang saja, kita akan mudah tergelincir pada machiavellisme kepenulisan. Sebuah ungkapan baru memang. Yang pengertiannya kurang lebih: yang penting menjadi tulisan, tanpa harus menguji isi dari tulisan. Bukankah itu senada dengan: tujuan menghalalkan cara?
Machiavellisme kepenulisan dalam bentuk lain yaitu: menulis tentang menulis. Jadi, isi dari tulisan itu tentang menulis. Apakah ini tidak seperti ber-masturbasi? Â Memang hal ini bukanlah sebuah kejahatan.
Sejatinya sebuah tulisan mengandung unsur keduanya. Ada cangkang dan ada isi. Mungkin ini lebih pada idealisme seorang penulis. Tapi harusnya memang seperti itu. Jadi tidak ada yang dikorbankan atau terkorbankan. Sehingga kutukan penulis pun akan bisa dijalani dengan semestinya. Kutukan yang mengkerangkeng pikiran hanya pada dua aktivitas: menulis dan berpikir tentang menulis.
Salam dari Benteng Betawi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H