Kalau Anda seorang pendidik, Anda tentu tahu betapa kita saat ini sedang berada di simpang jalan. Ya, ChatGPT--teknologi berbasis AI--membawa kita semua (pelajar dan pendidik) pada persimpangan itu.
ChatGPT, dengan kecerdasan buatannya, mampu menyediakan jawaban dari segala pertanyaan yang diajukan, dalam hitungan menit, bahkan detik!
Praktis saja ChatGPT langsung digandrungi para pelajar. Sebab mereka tak perlu berpayah-payah mencari jawaban dari membaca sumber konvensional seperti buku atau internet.
Tidak ada yang salah dari praktik semacam itu sebenarnya. Hanya saja, bergantung secara utuh pada kepraktisan tentu saja memiliki dampak yang kurang baik bagi perkembangan otak dan mental.
Jika segala sesuatu bisa tersedia dalam satu kedipan mata, para pelajar akan kehilangan penghargaannya terhadap proses. Ini sebuah dilema.
Belajar, sejatinya bukan hanya bermakna hasil. Lebih asasi dari itu belajar adalah proses. Dan, sejauh pengalaman saya, rata-rata pelajar yang berhasil adalah mereka yang memberikan ruang pada proses.
Mereka mengerti betul, pengetahuan itu mesti didekati selangkah demi selangkah. Dengan cara itulah hasil mereka adalah pemahaman, bukan sekadar tahu, apalagi sekadar dapat jawaban.
Beberapa hari lalu saya mewawancarai mahasiswa yang kerap menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas kuliahnya.Â
Dalam satu soal tugas tersebut, dia mengatakan kalau ChatGPT menjawab dengan sangat baik pertanyaan yang dia ajukan.