Jarum jam mendekati selatan. Degup jantungku masih tak keruan. "Dengan siapa pulanh?" Kusapa hidung bangirmu sore itu. Bibir manismu bisu, namun bentuknya membuat nafas terhenti.
Kereta merta biru meluncur bersama aku dan dia. Seperti biasa gudang kata terkunci rapat. Hingga maling membawa kain putih. "Dungu kamu" celoteh nyamuk di tanganku.
Kuakui kedunguanku. Rasa cinta bak virus corona di lorong Wuhan. Tapi virus ini memabukkan, tidak mematikan. Aku merengek-rengek supaya tertular, meski lumpuh dan layu.
Entah penawar apa yang kudapat. Tetiba niat  menggulung lipat, mendorong nyali yang mampat. "Sadarkah kamu aku selalu meneropongmu, aku ingin jadi pangeranmu". Gudang kata pun terbuka. Diujung jari, nyamuk menangis haru.
Hidung bangirmu bagai kusuma indah, di atas kelopak bibir merah. Pertanda apa ini? Tetiba pelangi memancar di antara kita dalam gerimis senja merona. "Aku permaisurimu, lama aku menunggu".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI