Mohon tunggu...
Ade Heryana
Ade Heryana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Cuma penulis yang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Preman Pensiun: Meluruskan Stigma Preman

19 Juli 2015   14:06 Diperbarui: 19 Juli 2015   14:06 2862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinetron Preman Pensiun dari RCTI memberikan sudut pandang tersendiri terhadap eksistensi dunia jalanan. Preman dalam strata sosial masyarakat kita sudah mengalami transformasi dari sebuah sebutan menjadi sebuah profesi dan akhir-akhir ini menjadi sebuah sifat. Preman berasal dari serapan bahasa asing yaitu "free"dan "man" artinya manusia yang bebas. Bebas dari norma-norma yang berlaku di masyarakat, baik norma hukum, sosial, agama, ekonomi, bahkan politik.

Terlepas dari suksesnya sinetron ini yang berturut-turut menempati rating tertinggi tayangan selama Ramadhan serta terlepas dari nama besar almarhum Didi Petet, ada beberapa stigma yang perlu diluruskan dalam diskusi tentang preman.

Pertama, preman bukan sebuah pekerjaan. Penyematan kata "pensiun" pada judul sinetron memberi kesan kuat bahwa preman adalah profesi. Padahal preman lebih dari sekedar profesi, melainkan telah menjadi sifat yang melekat pada seseorang. Kalau menilik asal katanya, siapapun bisa menjadi preman selama yang bersangkutan tidak mau terikat dengan norma-norma di sekitarnya. Seorang dermawan yang baik hati, bisa menjadi preman ketika ia tidak mau membayar pajak penghasilan yang ditetapkan negara. Seorang ibu rumah tangga yang kelihatan lembut bisa dianggap preman ketika ia tidak mau mengantri di pasar swalayan. Seorang guru besar terhormat bisa menjadi preman ketika tidak mengindahkan kebijakan universitas tempat ia mengabdi. Maukah mereka dianggap preman? Tentu tidak. Karena ada kata-kata halus dari preman yaitu "indispliner".

Kedua, setting preman dalam sinteron tersebut ada di jalanan, pasar, gang sempit, dan tempat marginal lainnya. Padahal preman sudah merasuk ke dalam tempat-tempat terhormat, ke tempat istirahat para kaum ningrat, ke tempat para kaum berilmu menyebarkan ilmu, bahkan ke tempat para ahli agama menyampaikan kebaikan. Itulah mengapa ada istilah "preman kerah putih" untuk membedakan sifat arogan kaum terhormat terhadap kaum termarjinal, dengan organisasinya yang dikenal dengan nama "mafia". Siapa sangka di DPR ada mafia proyek, di pengadilan ada mafia kasus, ada mafia tanah, ada mafia skor di PSSI, ada mafia obat di lingkungan dokter?

Ketiga, preman identik dengan pendidikan rendah. Nanti dulu, jangan terkecoh dengan inteligensia. Inteligensia yang tidak bermoral menghasilkan kaum berpendidik yang tidak bertanggung jawab. Jual beli ijazah palsu dan penutupan perguruan tinggi yang menjual gelar palsu menunjukkan preman sudah masuk ke wilayah ini. Belum lagi perjokian dalam pendaftaran masuk perguruan tinggi, perampasan hak masuk sekolah dan perguruan tinggi dalam bentuk "jatah" pejabat dan orang penting. Itu jelas preman !

Keempat, preman juga manusia. Kalau ini mungkin klise. Tidak semua preman berperilaku kasar dan urakan sesuai dengan penampilan. Tidak semua preman memiliki hati yang beku dan tidak berprikemanusiaan. Dan tidak semua preman memandang hidup ini sebagai dunia gelap, ia bisa kembali ke dunia yang lebih cemerlang.

Kelima, ada persamaan yang hakiki antara preman dan karyawan. Keduanya sama-sama mencari nafkah, cuma caranya saja yang berbeda. Sudut pandangnya yang tidak sama. Ada yang terpaksa jadi preman karena kesulitan ekonomi tapi ada pula yang memang memiliki sifat tidak mau berusaha dalam berkompetisi.

Keenam, sinteron ini juga memberi pandangan bahwa pengakuan seseorang diperoleh karena totalitas dan pengabdiannya. Banyak legenda preman (terlepas dari buruknya pekerjaan ini) yang ternama karena totalitasnya. Dunia jarang mengakui nama besar seseorang yang tidak total menjalankan perannnya. Siapapun pasti mengenal Johny Indo dan Hercules serta bagaimana sepak terjang mereka di dunia ini.

Melalui artikel ini penulis tidak bermaksud mengatakan preman adalah sifat yang boleh dijalankan. Sebenarnya secara tidak sadar dalam hidup ini, sifat preman pernah kita alami. Coba Anda runut perjalanan hidup sejak kecil hingga sekarang. Adakah Anda pernah melanggar rambu lalu lintas, melalaikan kewajiban ibadah dalam agama, menyembunyikan hak orang lain, tidak mau ikut kerja bakti di RT, dan lain sebagainya? Kalau ada, itu berarti si preman pernah mampir ke hidup Anda.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun