Sejak diluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) awal tahun 2014 sampai dengan sekarang, masalah kualitas pelayanan menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Sebagai satu sistem pelayanan kesehatan, kualitas layanan JKN tidak terlepas dari peran Sumber Daya Manunia. Jargon ‘revolusi mental’ serta dibentuknya kementrian pembangunan manusia dan kebudayaan pada era pemerintahan Jokowi-JK menandai peran manusia menjadi sangat sentral dalam pencapaian kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai praktisi di bidang pelayanan kesehatan sejak awal tahun 1990, penulis melihat banyak kemajuan pada infrastruktur dan kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun peningkatan ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM bidang kesehatan. Kejadian meninggalnya bayi prematur yang terpanggang di inkubator pada salah satu rumah sakit baru-baru ini, menjadi indikator lemahnya kualitas pelayanan kesehatan, yang bisa jadi disebabkan kurangnya pemahaman tenaga kesehatan akan prosedur yang berlaku.
Kenapa SDM kesehatan belum siap? Disamping prematur, kelahiran JKN syarat dengan permainan politik antar rezim pemerintah. Hal ini menyebabkan perencanaan implementasi program JKN kurang mendalam dan lebih dititikberatkan pada aspek kebijakan, anggaran, dan infrastruktur. Sementara aspek SDM tidak dipersiapkan secara matang, terutama dari segi kualitas dan distribusi.
Bagaimana kualitas SDM kesehatan kita? Dalam mengevaluasi SDM ada tiga hal yang diukur yaitu Skill, Knowledge dan Attitude. Secara skill dan knowledge SDM kesehatan kita tidak kalah dengan negara lain. Namun dari sudut attitude masih jauh dari harapan masyarakat. Pada instansi milik pemerintah, attitude SDM kesehatan merupakan masalah klasik yang sulit dipecahkan. Segala upaya sudah dilakukan pemerintah melalui remunerasi dan pelatihan namun masih sulit mendapatkan PNS SDM kesehatan yang baik secara keseluruhan. Budaya korupsi dan kolusi tetap mewarnai gambaran SDM kesehatan kita. Tidak dapat dipungkiri semua masalah ini menyebabkan kualitas pelayanan JKN kepada masyarakat jauh dari memuaskan.
Masalah distribusi juga menjadi penyebab kurang siapnya SDM kesehatan kita. Ketimpangan SDM kesehatan menyebabkan dua ekses negatif yaitu sulitnya mencari tenaga kesehatan yang kompeten di satu wilayah, dan terjadi over capacity pada unit pelayanan. Tenaga kesehatan yang tidak kompeten menghasilkan pelayanan pada pasien JKN yang tidak berkualitas bahkan membahayakan kesehatan maupun keselamatannya. Sedangkan kelebihan kapasitas kerja akibat kurangnya tenaga kesehatan, menyebabkan fatigue pada SDM kesehatan yang berujung pada buruknya pelayanan. Seorang teman dokter di rumah sakit milik pemerintah di Bandung, tanpa ragu menulis “BPJS a**ing” akibat beban kerja yang terlalu tinggi di status sosial media.
Permasalahan di atas adalah pada tataran pelaksana pelayanan di depan (front liner). Bagaimana dengan kesiapan pada jajaran pejabat pemerintah baik di daerah dan pusat? Setali tiga uang alias sama saja. Namun permasalahan bukan pada kualitas dan distribusi melainkan pada goodwill untuk mensukseskan program JKN, serta pada kemampuan berfikir sistemik dan integralistik. Implikasi dari ketidaksiapan ini adalah pejabat mengedepankan ego sektoral dan pemecahan masalah kesehatan yang tambal sulam akibat tidak kuatnya sistem.
Harapan kita kepada pemerintahan baru yang dipimpin oleh Jokowi-JK adalah membentuk SDM kesehatan yang paham akan tugas dan tanggung jawabnya menjalankan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat dalam hal ini peserta JKN. Jargon ‘revolusi mental’ semoga bukan hanya slogan untuk memenangkan pemilihan presiden, akan tetapi dapat mewujudkan SDM kesehatan yang siap menjalankan program JKN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H