Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai sajian data yang terpublikasi. Pertama, jumlah industrinya yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya dalam pembentukan PDB. Dalam penyerapan tenaga kerja saja, pada tahun 2011 UMKM mampu mencatatkan angka 97.6%. Kontribusinya terhadap PDB sebesar 57,48% di tahun 2013. Di sisi lain ketahanan UMKM pada krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997/1998 dari krisis global hingga saat ini memberi harapan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Belum optimalnya pemerintah melakukan upaya peningkatan kesejahteraan UMKM di Indonesia masih dirasakan sebagai hal yang klasik. UMKM masih kesulitan dalam mendapatkan akses permodalan, pasar, teknologi dan informasi. Angin segar tampaknya datang pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden mengumumkan paket kebijakan ekonomi ke-12, di mana paket kebijakan tersebut, adalah manifestasi deregulasi yang kali ini menyasar pada kemudahan usaha (ease of doing business) bagi Usaha Kecil Menengah.
Kemudahan usaha terdiri dari 10 poin, meliputi Memulai Usaha (Starting Business); Perizinan terkait Pendirian Bangunan (Dealing with Construction Permit); Pembayaran Pajak (Paying Taxes); Akses Perkreditan (Getting Credit); Penegakan Kontrak (Enforcing Contract); Penyambungan Listrik (Getting Electricity); Perdagangan Lintas Negara (Trading Across Borders); Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency); Perlindungan Terhadap Investor Minoritas (Protecting Minority Investors). Sederhananya, salah satu yang terlihat dalam paket kebijakan ini ialah, seperti pemotongan akumulasi jumlah prosedur yang sebelumnya 94 prosedur dipangkas menjadi 49 prosedur. Perizinan yang sebelumnya berjumlah 9 izin dipotong menjadi 6 izin.
Hal ini kita apresiasi baik sebagai keseriusan pemerintah di dalam melihat peranan UMKM sebagai pilar ekonomi di Indonesia. Namun dalam paketan tersebut masih ada celah yang harus dicermati, seperti upaya pemerintah dalam melindungi pelaku usaha dari resiko sosial ekonominya. Hal ini tentunya akan melengkapi usaha pemerintah, karena resiko sosial ekonomi seperti terhambatnya optimalisasi modal usaha yang mengakibatkan kerugian, sakit, meninggal dunia dan kecelakaan kerja juga tetap menjadi ancaman. Fragmentasi industri asuransi yang mengikuti karakteristik pasar lokal indonesia, merupakan langkah strategis dalam ekspansi usaha asuransi terhadap perkembangan sektor UMKM sekaligus sebagai perlindungan UMKM terhadap resiko sosial ekonomi.
Mengutip Munawar Kasan, bahwa selama ini industi asuransi masih belum mampu menyentuh masyarakat berpenghasilan rendah, hal ini ditentukan dari  3 (tiga) hal. Di antaranya ialah minimnya produk asuransi untuk segmentasi masyarakat tersebut, rendahnya literasi asuransi, dan belum optimalnya regulasi. Dengan demikian perlunya optimalisasi regulasi pemerintah dengan salah satunya ialah mengembangkan produk asuransi mikro yang disesuaikan dengan kondisi dan karaktersitik sektor usaha UMKM.
Karakteristik tersebut ialah efektif dari segi biaya, proses pembayaran klaim yang lebih sederhana, dan percepatan teknologi informasi. Lebih lanjut, manfaatnya dapat menjangkau dari resiko gagalnya operasi usaha. Dalam hal perlindungan pada pekerja rentan, karakterisitiknya dapat ditambahkan seperti gagal panen pada sektor pertanian, dan perlindungan terhadap bencana alam.
Pekerja rentan yang dimaksud di sini ialah seperti yang pernah diungkapkan oleh Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto. Beliau menyebutkan bahwa pekerja yang masuk dalam kategori rentan merupakan pekerja dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa ada uang simpanan (saving). Pembantu rumah tangga, petani, nelayan menurut beliau masuk dalam kategori.
Peran lembaga BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan juga dapat dioptimalisasi dengan menambah fitur manfaat tambahan. Sebagai contoh jika dimungkinkan BPJS Kesehatan dapat memfasilitasi program asuransi mikro bagi petani yang terkena wabah penyakit, maupun kegiatan preventif seperti penyuluhan dan pengobatan gratis.
Dari BPJS Ketenagakerjaan, jika ada resiko petani gagal panen maka dapat dimanifestasikan dalam bentuk santunan ekonomi. Di sisi lain pemerintah harus menguatkan produk regulasi , serta mengedepankan koordinasi dengan kementErian terkait, seperti kementErian koperasi dan UMKM, pertanian dan kementerian lainnya.
Dalam perannya, asuransi swasta juga harus mendorong pengembangan produk asuransi makro ini dikarenakan potensi pasar asuransi di Indonesia masih cukup besar. Penetrasi asuransi yang masih 2% terhadap PDB, serta pengaturan investasi kepemilikan modal 80%, mendukung upaya percepatan pembangunan dari sisi teknologi dan informasi.
Kedepannya diharapkan, langkah strategis ini dapat menguatkan tidak hanya dunia usaha UMKM maupun pekerja rentan agar terhindar dari resiko sosial ekonominya, akan tetapi mendorong penguatan dunia asuransi lokal. Hal ini tentunya sebagai upaya antisipasi menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Indonesia tidak akan siap menghadapi MEA, jika belum mampu menjadi raja di negeri sendiri.