Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Relationship Officer -

suka travelling, suka main game dansa, food lover,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mari Kita Peluk Kegagalan

21 Juli 2016   08:09 Diperbarui: 22 Juli 2016   20:49 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Merdeka.com

Siapa yang tak pernah mengalami kegagalan? mungkin jika ada seseorang yang merasa semua berjalan baik baik saja maka seseorang tersebut tidak akan pernah mencoba suatu hal yang baru. Dari sebuah kegagalan seorang diajak untuk belajar, melihat bagaimana proses yang kita jalani demi mencapai suatu tujuan, pada akhirnya tidak  terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan. 

Pilihan dalam menyikapi kegagalan itu penting, dari sebuah kegagalan kita dapat menjadi sukses, namun banyak juga yang  justru depresi, dari ringan hingga berat. Tidak berlebihan jika pribahasa lama mengatakan kegagalan adalah sukses yang tertunda. Jika dikatakan sukses yang tertunda, maka pilihan setelah gagal ialah belajar, belaja mengevaluasi yang lalu dan belajar memperbaiki untuk kedepan.

Banyak dari kita menyikapi kegagalan dengan begitu emosional, wajar --namun jangan larut berkepanjangan atau tidak manusiawi saat kita mengartikannya sebagai akhir dari segalanya. Kita boleh bersedih dengan menagis, kita boleh marah dengan diam atau sekedar berteriak, namun ketika itu sudah berlarut saya yakin itu bukanlah pilihan yang bijak. 

Secara umum kegagalan dapat kita artikan sebagai pandangan seseorang  yang sudah menyerah, dan merasa sudah berbuat banyak tetapi hasil tidak pernah kunjung menjumpai. Namun sadarkah kita bahwa dalam prosesnya, kita banyak menemukan pembelajaran yang kadang kita tidak sadar bahwa hal tesebut adalah hal baru dan bernilai. 

Contoh sederhana yang saya alami, saya pernah mengikuti seleksi untuk menjadi pembawa acara di sebuah pembukaan pekan olahraga yang cukup besar. Saya coba mempersiapkan segalanya mulai dari latihan, membaca banyak referensi, baik itu literasi buku dan artikel, hingga belajar langsung dari pegiat seorang pembawa acara. Dari persiapan 1 (satu) bulan lamanya saya yakin bahwa saya akan lolos untuk menjadi salah satu pembawa acara tersebut. Realitasnya namun berkata lain, ketika hari seleksi saya gagal untuk menjadi salah satu pembawa acara tersebut.

Dalam beberapa hari saya biarkan kegalauan diri menguasi keseharian saya. Mulai dari banyak makan, maupun aktivitas lain yang saya pikir hanya membuang waktu produktifitas saya. Hingga ada satu kejadian dimana saya termenung melihat buku yang saja jadikan literasi selama waktu satu bulan persiapan. 

Buku Charles Bonar Sirait "the power of public speaking", --kemudian saya berkata dalam diri saya, bukankah perjalanan 1 bulan ini saya habiskan untuk membaca buku tersebut?, bukan kah ada hal yang sebelumnya saya tidak tahu menjadi tahu. Apakah ilmu pengetahuan itu tidak saya syukuri sebagai anugerah pengetahuan baru saya? dan apakah itu tidak bernilai harganya?. 

Pernyataan pernyataan itu muncul hingga akhirnya saya sadari bahwa dalam proses pembelajaran itu justru menciptakan peluang bagi saya untuk hari kedepan saya. Peluang itu saya jadikan kreativitas baru, yang saya realisasikan dalam sebuah pocket book of public speaking  yang berguna bagi pembelajar pemula dan bagi saya sendiri dalam belajar public speaking.  

Perjalanan kegagalan tersebut saya sikapi sebagai batu loncatan yang justru pada akhirnya membawa saya pada posisi kepala divisi public spekaing yang melatih banyak pemula hingga menjadi juri seleksi pada beberapa tahun kedepan dalam acara pembukaan olahraga yang sama yang pernah saya ikuti.

Dari contoh pribadi saya, kita bisa melihat bagaimana kegagalan sebelumnya justu dapat menjadi batu loncatan, menciptakan sebuah kreativitas baru untuk sebuah tujuan yang lebih besar. Kita harus menghargai setiap proses, tidak hanya selalu melihat hasil, memang-- yang terpenting bagaimana kita telah berusaha, berbeda bila kita tidak berusaha sama sekali, maka kita bukanlah pembelajar, justru  kita adalah pecundang yang gagal sebelum selesai. Kegagagalan juga mengajarkan kita untuk menjadi seorang yang sabar dengan mental yang kuat. 

Satu poin yang saat ini sangat kita dibutuhkan dalam menjalani peran bernegara dan bermasyarakat.Tengok saja realitas  angka kriminalitas yang terjadi karena seseorang yang tidak bisa menahan emosinya, hingga banyak orang stress yang kalah karena tidak bisa sabar akan keadaan yang terjadi padanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun