Kamu masih berkutat di depan layar komputer, menyelesaikan laporan target penjualan yang mengharuskan lembur malam ini. Sudah hampir jam sembilan, suasana kantor mulai terasa sunyi. Hanya derik jangkrik yang menemani, bersama embusan air conditioner yang terdengar sayup-sayup di atas kepala.
"Sial! Semuanya udah pulang duluan," gerutumu, memecah keheningan. Sesekali berdecak sebal walau jemari masih menari di papan ketik.
Sepertinya ada sesuatu yang terpindai oleh sudut netra. Membuatmu melirik secara perlahan tanpa harus memutar leher. Kemeja batik berlengan pendek yang digunakan membuat bulu-bulu halus di sekitar lenganmu tampak jelas saat meremang.
Jika dilihat dari peluh yang bercucuran di sekitar pelipis, sepertinya kamu merasa cemas. Apalagi kedua lututmu mulai bergetar saat menyadari lampu di ruangan itu tiba-tiba berkedip beberapa kali.
Kamu menggeleng kuat. Mungkin untuk mengenyahkan berbagai prasangka buruk yang terus menggelayuti pikiran.
"It's okay! Sebentar lagi kelar terus langsung pulang," katamu sambil mengangguk pelan. Kamu mengembus napas kasar hingga kedua pipimu terlihat menggembung.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.15. Akhirnya, semua tugas yang menumpuk berhasil dirampungkan. Kamu segera mematikan perangkat komputer untuk bersiap pulang.
Ruang marketing yang berada di lantai sepuluh, membuatmu harus turun menggunakan lift.
"Huh!"
Lagi-lagi kamu menghela napas. Mungkin lelah atau hanya sekadar mengeluh atas rasa penat yang mendera. Wajar saja. Ini adalah waktu yang tepat untuk bergelung dengan selimut, di atas kasur empuk nan lembut. Sayangnya pekerjaan yang menumpuk membuatmu harus pulang telat malam ini.
Pintu lift berwarna silver berderak terbuka. Memang tidak mulus seperti yang ada di gedung-gedung mewah. Sebagian tombolnya pun sudah tak jelas bentuknya. Namun, itu jauh lebih baik dari pada harus turun melalui tangga.