Berbincang dan mengulas sebuah buku rupanya dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya Sabtu (10/10) saya berkesempatan untuk menjadi satu di antara tiga orang pembaca inti dalam Bincang-Bincang Buku Anak-Anak Masa Lalu, kumpulan cerpen yang ditulis oleh Damhuri Muhammad. Hari itu merupakan untuk kedua kalinya saya dapat bertatap muka langsung dengan cerpenis dan esais tanah air yang mumpuni ini setelah pertemuan pertama pada 2012 lalu. Awalnya saya mengira hanya sebagai penanggap/penanya dalam acara yang diadakan di Rimbun Cafe, Jl. Mangunsarkoro, Padang tersebut. Namun rupanya saya mendapat kesempatan untuk menjadi pembaca inti yang memiliki peran untuk “berkomentar/berbincang” mengenai buku yang saya baca.
Saya merasa gugup ketika moderator, Zelfeni Wimra memberikan kesempatan kepada saya untuk memaparkan hasil bacaan saya. Karena ini merupakan pengalaman pertama saya berbagi/berdiskusi tentang sastra dengan orang lain dalam sebuah forum. Alhasil dengan bahasa “ala saya” saya pun menyampaikan garis besar ataupun rangkuman dari cerita-cerita yang saya baca. Karena saat itu saya baru membaca separuh dari 14 judul yang ada, saya pun menceritakan (tanpa bermaksud ataupun mengurangi) bahwa kumpulan cerpen Anak-anak Masa Lalu merupakan buku yang bagus. Bukan saja karena tema yang disajikan menarik. Namun juga teknik penulisan (sepanjang yang saya ketahui) juga sangat baik.
Ada beberapa cerpen yang saya suka, yaitu Banun, Reuni Dua Sejoli, Dua Rahasia Dua Kematian merupakan di antara cerpen yang saya sukai. Masing-masing cerpen hadir dengan keistimewaan yang membuat saya (barangkali juga Anda yang sudah membacanya) tergugah untuk kembali merenungi beberapa hal yang barangkali abai kita perhatikan. Seperti dalam kisah Banun, sebuah ironi dan paradoks yang menggelisahkan saat seorang Banun (tokoh utama) yang berupaya untuk menerapkan pola hidup tani (tahani : menahan diri) dalam kesehariannya justru dipandang oleh orang sekitar sebagai orang pelit atau kikir. Dalam kisah Banun kita seakan diajak untuk berpikir ulang tentang cara pandang terhadap kehidupan selama ini. Kita yang selama ini terbiasa dengan kehidupan konsumtif diajak untuk menjadi produktif. Kita diajak untuk “menahan diri untuk tidak membeli sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam” (hal 26). Bukankah ini sebuah cara pandang yang sederhana, namun kita sering melupakannya bukan?!
Lain Banun lain pula keistimewaan dua kisah berikutnya, Reuni Dua Sejoli dan Dua Rahasia Dua Kematian. Dua kisah ini hadir dengan tragedi percintaan yang menimpa para tokohnya. Reuni Dua Sejoli menceritakan tentang kisah kasih tak sampai dua teman lama yang harus terpisah karena tidak berani untuk memperjuangkan cinta yang barangkali dapat menjadi cinta sejati mereka masing-masing. Kedua tokoh hanya bisa menyesali diri dengan pilihan-pilihan yang telah mereka ambil di masa lalu. Sesuatu yang sangat disayangkan, mengingat keduanya menyimpan cinta yang tulus. Sebuah kisah yang mampu memainkan emosi pembaca. Pembaca (sepertinya) disuruh untuk menerka bagaimana kelanjutan dari kisah cinta dua tokoh tersebut. Karena sejak awal, penulis membuat kisah ini menggantung tanpa penyelesaian.
Sedangkan Dua Rahasia Dua Kematian mengingatkan kita akan kisah tragis Romeo dan Juliet karya William Shakespeare yang tentunya sudah sangat lekat di benak kita. Namun sedikit perbedaannya, pertentangan dua keluarga ini disebabkan oleh alasan mitos yang membelenggu mereka. Angga, seorang pemuda yang menyayangi keluarga harus membenamkan impian karena terhalang restu sang ibu yang percaya akan mitos “seorang adik tidak boleh mendahului saudara (perempuan) untuk mengadakan sebuah pernikahan.” Mitos ini begitu dipercaya oleh sang ibu. Sang ibu takut sesuatu yang buruk akan menimpa sang kakak. Sementara itu Anggita, perempuan yang dicintai oleh Angga harus menghadapi “serangan” orangtuanya yang berpikiran bahwa pemuda yang dicintainya itu tidak akan dapat membahagiakannya ataupun menafkahinya. Kedua sejoli ini hanya bisa pasrah dengan keadaan yang membelit mereka. Alur cerita yang sederhana dan tidak berbelit-belit justru semakin menambah “tragis” cerita ini. Penulis dengan caranya kembali memainkan emosi pembaca untuk masuk ke dalam ruang batin sang tokoh yang pada akhirnya membawa kita pada akhir yang tragis. Cinta yang tidak dapat bersatu di dunia barangkali akan kembali terikat di dunia yang lain. Sebuah akhir yang membawa ngilu bagi (kita) para pembaca.
Saya pun tidak ingin berlama-lama menyampaikan apa yang menjadi hasil bacaan saya. Karena saya takut kalau terlalu lama pendengar akan bosan dan juga apa yang saya katakan nantinya akan terlalu panjang dan bertele-tele. ^_^
[caption caption="Suasana bincang-bincang buku Anak-anak Masa Lalu di Rimbun Cafe"]
Setelah kesempatan pertama diberikan kepada saya (sesuai abjad nama), pemaparan berikutnya diberikan kepada Elin Nofia Jumesa (Penulis, Mahasiswa UNP) dan Nofel Nofiadri (Dosen IAIN Imam Bonjol Padang). Setelah sesi pemaparan selesai, acara bincang-bincang pun dilanjutkan dengan diskusi dengan peserta yang hadir. Pada kesempatan tersebut juga hadir Papa Rusli Marzuki Saria, Alizar Tanjung, Romi Zarman, Maya Lestari GF, Yetti A.KA, Heru Joni Putra, Efri, Dona dll. Setelah sesi diskusi, moderator pun memberikan kesempatan kepada penulis buku kumcer ini, Damhuri Muhammad untuk menanggapi beberapa pertanyaan yang juga ditujukan padanya. Tidak hanya menjawab pertanyaan ia juga membacakan epilog yang terdapat dalam bagian akhir kumcer Anak-anak Masa Lalu sekaligus mengakhiri acara yang dimulai pukul 16.00 WIB tersebut.
Sebuah kesempatan yang berharga dan berkesan. Semoga di lain waktu saya kembali mendapatkan kesempatan serupa. Amin. ^_^ (Padang, 23 Oktober 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H