Mohon tunggu...
Muhammad Fadli
Muhammad Fadli Mohon Tunggu... lainnya -

lahir dan besar di tepi karangmumus. sungai di kota kayu, Samarinda, yang kini kian menghitam. dapat dikunjungi di: http://timpakul.web.id

Selanjutnya

Tutup

Nature

Redd+ dan Pijat Plus

12 Juni 2010   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

REDD, sebuah akronim dari Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation, kurang lebih bermakna pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. merupakan sebuah trend baru, setelah mekanisme reforestasi dan aforestasi di lingkup clean development mechanism (CDM) menemui stagnasi. dari publikasi yang dilakukan oleh lembaga lahan basah internasional, lalu kemudian sektor kehutanan dimasukkan sebagai sebuah sumber emisi, utamanya dari konversi lahan gambut dan kebakaran hutan.

pada pertemuan ketigabelas para pihak konvensi perubahan iklim di Bali, kemudian dimunculkan gagasan tentang REDD+. tanda “+” pada REDD+, kabarnya memperluas mekanisme dengan memasukkan aspek konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan, serta pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan. kondisi ini mengharapkan bahwa aktifitas-aktifitas seperti peningkatan pengelolaan kawasan lindung, hutan tanaman dan restorasi hutan, serta pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging) dapat dimasukkan sebagai bagian dari strategi REDD+.

wacana REDD+ ini semakin cepat menggulir, setelah adanya Letter of Intent antara Indonesia dengan Norwegia. ada 2 hal yang penting dibaca dalam Letter of Intent antara Indonesia dan Norwegia:


  • Give all relevant stakeholders, including indigenous peoples, local communities and civil society, subject to national legislation, and, where applicable, international instruments, the opportunity of full and effective participation in REDD+ planning and implementation.” (lihat III. b.)artinya adalah, pelibatan para pihak sangat tergantung pada kebijakan nasional yang berlaku. dengan kondisi belum tuntasnya pengakuan terhadap masyarakat adat dan sistem kelola lokal, maka konteks partisipasi dalam perencanaan dan implementasi REDD+ ini hanya akan menjadi sebuah partisipasi semu (atau cap stempel)
  • dalam pemenuhan LoI dengan Norway, ID diwajibkan untuk menghentikan sementara seluruh konsesi yang mengkonversi lahan gambut dan hutan alam. – lihat bagian VII, poin c. i..dan ini sudah direspon oleh Menhut, Menko Ekonomi dan Presiden, bahwa ini tidak berlaku terhadap perijinan yang telah diberikan sebelumnya. makanya kemudian Presiden mengatakan agar para kepala daerah jangan berlomba-lomba mengeluarkan ijin hingga akhir tahun.artinya adalah, maka penyelamatan lahan gambut dan hutan alam tersisa tidak akan pernah terjadi, karena sebagian besar kawasannya telah diberikan perijinan, baik oleh pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten. dan dengan kondisi yang sudah kritis, harusnya tidak lagi bicara suspensi pada dua kawasan tersebut. sudah harus bicara pada titik berhenti mengkonversi hutan alam dan lahan gambut. dan ini adalah lahan gambut, yang sudah pasti referensinya adalah lahan gambut dalam (kedalaman lebih dari 3 meter), sesuai dengan Keppres 32/1990, serta kawasan lahan basah lainnya, tidak termasuk dalam kawasan gambut yang dimaksud dalam LoI. walau kemudian statement Menhut menyatakan kedalaman gambut berapapun tidak boleh ada ijin baru.

    gejala ketidakkonsistenan ini juga semakin terlihat dengan adanya surat dari Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia yang mengharapkan moratorium ijin baru tidak berlaku terhadpa proses permohonan perijinan IUPHHK yang telah mendapatkan rekomendasi Bupati dan Gubernur dan perubahan hutan alam menjadi hutan tanaman di dalam ijin HTI tidak termasuk dalam pengertian konversi dan/atau deforestasi hutan alam yang tercakup dalam LoI.


hal lain, adalah bagaimana dengan dana 1 miliar tersebut. apakah benar hanya 1 miliar? karena ada pihak lain yang juga beraktivitas pada ruang yang sama, yaitu GEF, WorldBank dan UN-REDD, yang juga ‘terpaksa’ bermain REDD+, karena aliran dana norwegia juga ada disana. juga dengan program German, Australia dan negara lain, yang berharap dari project serupa.

pertanyaan lainnya adalah apakah Indonesia punya cetak biru REDD(+)? di awal tahun 2010, Presiden mengundang para gubernur untuk menyusun RENCANA AKSI NASIONAL ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM, yang untuk memenuhkan target 26%. namun apakah telah menjadi sebuah cetak biru, masih belum jelas, karena hingga saat ini belum ada keputusan presiden ataupun peraturan pemerintah terkait dengan rencana aksi tersebut. dan dana dari Norwegia ini, bila Presiden konsisten dengan ucapannya, adalah untuk wilayah antara 26%-41%. sedangkan 26% akan dilakukan dengan dana dalam negeri, semisal APBN. namun sepertinya, ini juga akan diklaim sebagai bagian dari komitmen 26% penurunan emisi Indonesia yang pada tahun 2005, Indonesia menyumbang 2,3 gigaton karbon pertahun.

terkait kerjasama juga dengan Norwegia, Indonesia juga melakukan kerjasama energi (2007), selain kerjasama iklim. kerjasama energi ini yang belum tergambar jelas, namun kemudian Norwegia juga sedang meningkatkan investasi di bidang migas.

kalau sudah demikian, apa yang membedakan antara REDD+ dengan pijat+? apakah kemudian inisiatif pendanaan, hanyalah sebuah pemuas sesaat terhadap keinginan pimpinan negeri ini untuk menaikan citra hijaunya? atau juga sebenarnya, merupakan bagian dari sebuah perselingkuhan energi dan sumber bahan baku-pasar bagi negara-negara utara? negeri ini sudah terlalu tunduk pada kepentingan-kepentingan global, tanpa pernah melakukan penguatan dan benteng pertahanannya. kehancuran sistem sosial, telah pula didukung oleh perilaku pejabat yang seolah-oleh berpihak pada lingkungan, namun senyatanya hanya untuk kepentingan kelompoknya.

menarik dibaca:

pada REDD yang plus-plus-plus menuju yes-yes !


sebagaimana telah ditulis juga pada blog personal - http://timpakul.web.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun