Sejak sekolah dasar sampai saya bekerja dan lama setelah saya bekerja, menulis di kertas-kertas kecil atau di buku harian bahkan di lembaran koran yang sedang dibaca menjadi kebiasaan saya. Buku-buku pelajaran di sekolah atau buku yang baru dibeli di toko buku, pasti ada coretan-coretan tambahan tentang emosi jiwa, suasana hati ataupun argumen akal serta kata-kata mutiara baik dari kalbu sendiri maupun semburat makna para pujangga. Semuanya itu saya berikan tanggal, hari dan jamnnya.Tentu saja penuh kenangan dan memori masa silam yang penuh bahagia (hoho, bahagia juga waktu kecil).
Lima tahun yang lalu sebelum gudang di rumah orang tua saya diambrukkan (atau ambruk sendiri), saya masih menemukan buku-buku harian catatan hidup saya, semasa SMP, SMA dan kuliah. Tulisannya hanya saya saja yang mengerti, kecuali orang tersebut mampu menginterpretasikannya, hehe. Catatan yang tidak bermakna banyak namun cukup bisa membuat saya tersenyum di gudang yang jorok tersebut.
Contoh tulisannya adalah catatan perjalanan tahun 1991 ke yogyakarta, di situ saya tulis siapa saja yang ikut rombongan, naik kereta apa, berhenti di mana saja, jam berapa saja. Mengunjungi apa saja di kota Yogya, bahkan beli oleh-oleh apa saja. Juga catatan saat acara pesantren kilat pada tahun 2001 di daerah Sukabumi, Jawa Barat.
Saat ini buku-buku tersebut memang sudah tidak saya temukan lagi, coz gudangnya sudah berpindah ke kamar pembantu di belakang. Sementara saya sejak tahun 2002 sudah nomaden di rumah tersebut. Sudah dipecat sebagai penghuni rumah. Untung saya tidak beralih jadi penghuni pohon sawo besar di belakang rumah, hiiiiiii. Apakah buku-buku tersebut masih ada, jawabannya saya tidak tahu. Skripsi saya saja sekarang dimana, saya tidak tahu dimana rimbanya.
Saat ini, saya sudah menjadi seorang Bapak dengan tiga anak dengan satu isteri. Juga memiliki pekerjaan purna waktu. Sepertinya waktu menulis sudah hampir habis. Kalo senggang paling mengecek rumah yang suka bocor, main sama anak, atau sama isteri. Hehehe. Menulis biasanya saya kerjakan jika menunggu di bengkel motor atau di tempat yang ngantri yang saat itu ada alat tulis dan kertasnya. Namun itupun kalau disebut cerpen, cerpen setengah namanya. Tidak jelas awal akhirnya, hanya tengah-tengahnya yang jelas. Bingung kan. Tidak seperti dulu saat saya senang berebut di angkutan umum ataupun naik omprengan. Di alat transportasi tersebut saya bisa bebas menulis. Sekarang saya naik motor terus, paling jeprat-jepret pake HP selama berhenti di lampu merah, sebagai ganti menulis.
Jadi hari ini menulis itu jadi susah buat saya. Apalagi komputer di rumah sudah lama rusak. Hehehe. Jadi curi-curi waktu di kantor. Pagi sekali atau sore sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H