Mohon tunggu...
Ade T Bakri
Ade T Bakri Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka kopi

Adenyazdi.art.blog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa Simpati dan Syukur yang Hanya Sebatas Ucapan Tanpa Pemaknaan

13 Januari 2021   18:56 Diperbarui: 14 Januari 2021   12:03 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita mengenai jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182.

Berita ini menambah catatan kelam penerbangan Indonesia. Dilansir dari Media Indonesia (11 Januari 2021). Indonesia dinilai sebagai tempat terburuk di Asia untuk naik pesawat dengan 104 kecelakaan dan 2.353 kematian terkait. Data tersebut dari Jaringan Keselamatan Penerbangan.

***

Dalam tulisan ini, saya tak akan membahas catatan kelam mengenai jatuhnya pesawat, tulisan di atas hanya sebuah intro untuk masuk ke dalam pokok bahasan.

Nah, yang mau saya tilik adalah rasa simpati  dan rasa syukur  kita.

Apa itu simpati? Definisi/arti kata 'simpati' di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah n 1 rasa kasih; rasa setuju kepada); rasa suka: 2 keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dan sebagainya) orang lain.

Dari defenisi simpati, kita bisa memaknainya begini. Simpati merupakan perasaan turut serta dalam susah, senang, sedih dan sebagainya yang dirasakan orang lain.

Lalu apa itu syukur?  Syukur dalam KBBI 1 adalah  rasa terima kasih kepada Allah 2 untunglah (pernyataan lega, senang, dan sebagainya).

Dari pengertian di atas, syukur merupakan ungkapan terima kasih  kepada Tuhan apabila kita diberi kesenangan, keselamatan dan segala hal yang mendatangkan kebaikan.

Kedua pengertian di atas sudah lazim dipahami.  Akan tetapi, bagi saya dalam mengaktualkan rasa simpati dan rasa syukur melalui lisan, tulisan dan juga sikap. Kedua Rasa tersebut butuh pendalaman pemaknaan.

Sebab, tidak semua dari kita bijak dalam menempatkan kedua rasa tesebut.

Mengapa?  Kita tentu tahu bersama bahwa rasa simpati dan syukur, sangat dipengaruhi kondisi pribadi kita.

Sehingga rasa syukur dan simpati yang diucapkan hanya akan melibatkan perasaan tulus apabila itu menyangkut/berkaitan dengan keluarga atau orang yang kita kenal.

Misal, ketika mendengar kabar duka, kita lebih merasa kehilangan apabila kabar duka itu menimpa keluarga atau orang yang kita kenal. Kalau yang tidak kita kenali, kita mungkin hanya mengucapkan kasian ya.

Mirisnya, ada yang tak merasa simpati sama sekali, terkesan menganggap biasa musibah atau kemalangan yang menimpa orang lain, malah menyebar berita-berita hoax seputaran musibah kematian dan lain sebagainya.

Padahal, seharusnya rasa simpati itu  keluar dari hati secara menyeluruh, tidak tebang pilih.

Pun dengan rasa Syukur, ia akan terucap dari mulut , apabila mendapat  kesenangan, kebahagiaan dan hal bahagia lainnya yang kita rasakan. 

Namun, jika mendapat kemalangan, jarang Sekali kita mengucapkan syukur. 

Begitu juga ketika kebahagiaan itu menyangkut dengan orang lain, jarang kita ikut merasa bersyukur apabila orang lain mendapat kebahagiaan atau kesenangan

Pendeknya rasa syukur itu akan terucap dan terasa tulus dalam hati apabila berhubungan dengan kita atau orang-orang yang kita kenal. 

Akan tetapi kalau kita telisik tak semua rasa syukur yang keluar dari mulut kita itu berdampak  baik seperti yang terpikirkan. 

Memaknai Rasa simpati dan Rasa syukur

Terkait dengan jatuhnya pesawat baru-baru ini, banyak beredar vidio dan tulisan mengenai  simpati dan juga rasa bersyukur.

Pertama. Rasa simpati. Beragam tulisan atau ucapan  simpati datang dari berbagai kalangan terhadap korban dan keluarga korban yang mengalami kejadian  jatuhnya pesawat tesebut.

Namun, saya melihat tidak semua yang mengucapkan rasa simpati itu tulus keluar dari hati. Akan tetapi hanya sebatas kata retorik tanpa dilandasi perasaan ikut merasakan.

Mengapa? Coba Anda perhatikan beberapa posting netizen yang berseliweran di media sosial. Walaupun terkesan menunjukan rasa simpati terhadap keluarga korban dan korban jatuhnya pesawat. Akan tetapi malah membagikan juga foto, vidio korban kecelakaan pesawat tersebut.

Miris, bukan? Coba Anda bayangkan apabila pada foto dan video itu ada keluarga Anda atau orang yang Anda kasihi yang menjadi korban, Bagaimana perasaan Anda?

Saya mengatakan demikian karena, baru-baru ini saya ditunjukkan sebuah video oleh seorang teman tentang korban kecelakaan pesawat. Entah itu korban kecelakaan pesawat sriwijaya atau korban kecelakaan lainnya.

Namun dalam vidio yang tersebar luas melalui whatsapp itu, terlihat seorang petugas, entah petugas medis atau petugas forensik, merekam beberapa  mayat yang tergeletak  dengan tubuh yang telanjang, penuh luka dan ada juga mayat yang tidak utuh lagi.

Vidio dengan durasi pendek tesebut terdengar suara si perekam berkata:

Sepatu Adek kecil tas dan dompet atas nama Grasia. Lihat ini daging semua nih, kulit semua nih. Kulit manusia!

Kalau melihat vidio itu, saya yakin Anda akan berkata sama dengan saya bahwa pembuat vidio itu benar-benar tak punya rasa simpati, teganya ia merekam korban-korban tersebut.

Saya yakin apabila keluarganya termasuk dalam salah satu diantara korban, ia tak akan sanggup merekam lalu membagikan vidio tersebut.

Barangkali ia pun memiliki rasa simpati. Akan tetapi dengan merekam para korban melalui ponselnya itu menunjukan bahwa ia tak bijak dalam menempatkan/menunjukkan rasa simpatinya. 

Kedua. Rasa syukur. Setiap dari kita tentu akan bersyukur kepada Tuhan apabila diberi kebahagiaan atau diselamatkan dari musibah kecelakaan.

Akan tatapi, tidak  semua rasa syukur yang kita ucapkan itu baik. Mengapa?
Saya pernah membaca buka  hikmah para Sufi. Dalam buku tersebut dikisahkan tentang sebuah kebakaran yang melanda rumah penduduk salah satu desa. Dalam kebakaran tersebut, hampir semua rumah penduduk di desa itu terlahap api. Namun ada salah satu pendukungnya yang rumahnya tak di  lahap api.

Singkatnya. Ketika  melihat rumahnya itu selamat  dari lahapan api. Ia  mengucapakan Alhamdulillah (Alhamdulillah adalah kalimat tahmid yang memiliki makna menyampaikan pujian kepada Allah SWT, menyampaikan syukur kepada Allah SWT).

Walaupun kata syukur tersebut terdengar baik. Namun, apa kata Sufi tentang syukur yang demikian? kata syukur tersebut bisa mengandung arti yang berbeda, ungkapan syukur yang demikian bukan menunjukan kepasrahan/ridho, tetapi menunjukkan keegoisan, Mengapa? Menurut para sufi Ungkapan syukur  tersebut seakan menegaskan kalau ia rela terhadap apa yang terjadi/menimpa orang lain, tetapi menolak ketika itu terjadi pada dirinya.

Syukur yang demikian tidak mencerminkan sejatinya rasa syukur. Ekspresi kelegaan dan kesenangan terhadap apa yang tak menimpanya sama halnya dengan menyetujui apa musibah yang menimpa orang lain.

Sila disimak juga vidio ini : https://m.youtube.com/watch?v=yhV1Y4OLrW0&feature=share

Padahal kalau kita sejenak merenungi tentang hikmah kematian  dan kehidupan, yang tidak terkena musibah belum tentu merupakan kebaikan. Pun yang terkena musibah belum tentu itu merupakan keburukan.

Kalau dikaitkan dengan peristiwa  kecelakaan pesawat baru-baru ini dan ungkapan syukur  sebagian orang yang selamat dari kecelakaan pesawat. Syukur tersebut sama halnya kisah di atas.

Maka dari itu,  rasa syukur yang demikian, sebaiknya disimpan dalam hati, tak perlu di publish luas. Sebab bisa jadi rasa syukur itu, sama halnya dengan bersyukur atas keselamatan diri, disaat yang sama seakan bersyukur terhadap apa yang menimpa para korban.

Dengan demikian, agar rasa rasa simpati dan rasa syukur  kita tak hanya ucapan belaka. Sebelum dikeluarkan melalui lisan dan tulisan sebaiknya dimaknai terlebih dahulu. Apakah rasa simpati dan rasa syukur kita itu sesuai sebagai mana mestinya atau sudah pada tempatnya.

Pada intinya, seharusnya rasa syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri dan simpati merupakan perasaan tulus dalam keikutsertaan merasakan penderitaan, kesedihan dan luka yang di rasakan orang lain, layaknya kita merasakan hal yang sama apabila terjadi pada kita dan keluarga kita.

Perkataan/ucapan atau perbuatan yang tak kau sukai apabila itu dilakukan padamu, sama halnya dengan ketika itu dilakukan pada orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun