Mohon tunggu...
ade armando
ade armando Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Ade Armando adalah dosen Universitas Indonesia dan Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menjawab Callista Vania Soal Lembaga Penelitian yang Bermasalah

8 Maret 2014   09:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:09 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 6 Maret 2014 yang lalu, seorang penulis di Kompasiana (Callista Vania) menggugat presentasi saya yang dipublikasikan sejumlah media mengenai banyaknya lembaga penelitian tak bertanggungjawab.

Di tulisan berjudul “Beri Penilaian Buruk pada 7 Lembaga Survei, Ini Rekam Jejak Ade Armando”,  Callista berusaha mengarahkan pembaca untuk menyimpulkan bahwa kritik saya tentang lembaga penelitian sebaiknya tidak dipercaya karena saya memiliki rekam jejak yang buruk.

Pada dasarnya saya terbiasa menerima kritik. Sebagaimana saya sering mengeritik, saya harus juga siap menerima kritik. Dalam demokrasi dan dalam dunia akademik, adalah lumrah orang berbeda pendapat.

Hanya saja, dengan berat hati harus saya katakan, argumen Callista berantakan. Ini bisa terjadi mungkin karena dia sendiri tak mendengar langsung atau membaca langsung kritik saya. Atau mungkin juga karena Callista tidak hidup dalam lingkungan yang terbiasa dengan diskusi.

Sekadar untuk membantu pembaca, kritik Callista ditujukan pada apa yang saya paparkan di KPU pada 4 Maret 2014. Ketika itu di depan banyak wartawan saya memaparkan hasil penelusuran saya dan kawan-kawan di majalah Indonesia 2014 tentang kualitas hasil-hasil penelitian opini publik yang semakin marak di negara ini.

Menurut saya, upaya untuk mengetahui pendapat umum adalah sebuah langkah sehat dalam demokrasi. Namun upaya tersebut harus disertai dengan penggunaan metode penelitian yang benar. Sayangnya, saya menemukan bahwa ada cukup banyak penelitian yang tidak dilakukan dengan bertanggungjawab. Sebagian mungkin karena lemahnya penguasaan metodologi. Sebagian lagi mungkin karena memang ada tujuan licik merekayasa apa yang dipublikasikan sebagai pendapat umum.

Untuk itu, saya memang menggunakan contoh-contoh konkrit yang kami temukan di lapangan.

Sebagai contoh lembaga penelitian bernama INES yang melaporkan kepada publik tingkat elektabilitas Prabowo saat ini sudah mencapai 40% dan itu berarti jauh mengungguli   Jokowi yang tingkat elektabilitasnya hanya sekitar  5%. Ini tidak masuk di akal. Ketika dilacak, kemudian diketahui bahwa pendiri INES adalah seorang caleg Gerindra.

Ada pula Lingkar Survei Indonesia yang dengan sengaja menyandingkan nama Abu Rizal Bakrie dengan  Jokowi sehingga elektabilitas ARB berada di peringkat pertama, di atas Megawati (yang disandingkan dengan JK) dan Prabowo (yang disandingkan dengan Hatta).

Saya juga ungkapkan kelemahan lembaga penelitian yang ada dalam keluarga MNC , bernama IRC, yang mempublikasikan hasil penelitian yang belum rampung namun menguntungkan imej Wiranto.

Saya juga mengutip kelemahan penelitian Sigma yang mendasarkan diri pada jawaban 112 wartawan yang tidak jelas mewakili wartawan mana. Ada penelitian Soegeng Sarjadi School of Government yang hanya mengandalkan wawancara per telepon. Ada pula penelitian FAIT yang menyangka penarikan sampel random adalah memilih responden secara kebetulan. Ada juga penelitian LSIN yang mencampurkan wawancara tatap muka dan wawancara telepon. Ada pula contoh-contoh lain.

Namun pada intinya, saya mengajak media dan publik untuk berhati-hati dengan berbagai hasil temuan dari penelitian yang tidak mendasarkan diri pada kaidah keilmuan yang ketat. Kedisiplinan ini menjadi penting karena kalau tidak, masyarakat akan memperoleh informasi yang salah.

Penelitian pendapat umum yang sebenarnya ditujukan untuk mencari kebenaran, bisa-bisa menjadi sarana untuk menyebarkan kebohongan.

Pandangan saya ini didukung oleh dua pembicara lain yang merupakan pimpinan asosiasi lembaga penelitian opini publik di Indonesia: Umar Bakri (AROPI) dan Andrinof Chaniago (PERSEPI).  Umar bahkan menyatakan apa yang saya presentasikan hanya sebagian kecil dari gambaran kelam penelitian di Indoensia. Umar misalnya menyebut adanya penelitian opini publik yang ‘sepenuhnya rekayasa’: penelitian yang hasilnya dikarang di belakang meja untuk memenangkan klien tertentu.

Saya sama sekali tidak mengajak publik untuk tidak percaya pada semua hasil survei. Yang saya katakan, kita bersama harus bersikap kritis dan mendisiplinkan lembaga-lembaga penelitian yang tidak menjalankan kaidah metodologis yang benar.

Seperti saya katakan, Callista menggugat presentasi saya itu. Hanya saja, sebagaimana Anda bisa baca dalam tulisannya, argumennya sangat lemah.

Callista sama sekali tak menunjukkan letak kesalahan kritik saya terhadap penelitian-penelitian yang saya sebut.  Dia mengabaikan bagian itu sama sekali.

Alih-alih membahas substansi kritik saya, Callista malah masuk ke dalam tuduhan bahwa apa yang saya sampaikan sebenarnya dilandasi oleh kepentingan sempit.  Untuk itu, Callista berusaha menunjukkan apa yang disebutnya sebagai ‘rekam jejak’ saya yang ‘buruk’ selama ini.

Ada tiga hal yang dia sebut secara khusus mengenai rekam jejak saya:

a.Saya adalah tim sukses pemenangan SBY di masa lalu.

b.Saya adalah tim sukses Gita Wirjawan di pemilu ini.

c.Saya pernah gagal mengadu domba mahasiswa UI dengan rektor UI dan sekarang saya menjadi tersangka dalam kasus UI.

Di bagian akhir tulisan, Callista berargumen bahwa kritik saya pada lembaga-lembaga survei itu saya lakukan karena posisi Partai Demokrat dan Capres yang saya dukung tidak mendapat tempat di survei-survei mereka. Kritik saya, kata Callista, sarat politis.

Tulis Callista: “Dahulu ketika Demokrat berjaya tak ada satu kata pun keluar dari Armando. Sekarang begitu realita berbalik arah, dirinya seperti kebakaran jenggot dan mulai berkoar - koar di media massa.”

Menurut saya, argumen Callista berantakan karena sejumlah hal:

a.Fakta pertama dia salah. Saya tidak pernah menjadi tim sukses SBY ataupun Partai Demokrat pada pemilu manapun. Saya tidak tahu Callista memperoleh ilham dari mana sehingga tiba pada keyakinan itu.

b.Saya memang pendukung Gita Wirjawan, tapi saya tidak pernah menutupi fakta bahwa di penelitian manapun, dukungan terhadap Gita jauh di bawah Jokowi, Megawati, Prabowo dan Abu Rizal Bakrie. Itu sangat logis. Bahkan kalau ada lembaga penelitian yang menyatakan saat ini popularitas Gita mendekat para capres unggulan itu, saya akan persoalkan juga kesahihan penelitian mereka.

c.Dalam presentasi saya, tidak sekalipun saya mempersoalkan isu Partai Demokrat dan Gita. Dalam kasus INES, misalnya, yang saya persoalkan adalah mengapa elektabilitas Prabowo mencapai 40% sementara Jokowi hanya 5%. Jadi dari mana Callista menyimpulkan saya menggugat penelitian tersebut karena alasan dukungan saya pada Gita?


  1. Soal UI bahkan makin tidak masuk akal. Apa urusan saya mengadu domba? Saya memang adalah bagian dari gerakan UI Bersih yang memerangi korupsi di Universitas Indonesia. Mungkin Callista tidak tahu bahwa memang sudah terungkap adanya rangkaian korupsi di UI. KPK dan BPK sudah mengungkapkannya. Sudah ada satu (mantan) pimpinan UI yang menjadi tersangka. Rektor UI Gumilar Somantri sudah turun. Sebelum dia turun, ada pendudukan rektorat oleh mahasiswa. Jadi apa yang saya lakukan saat itu adalah bagian dari penegakan pengelolaan UI secara bersih, transparan dan akuntabel. Bahwa saya dijadikan tersnagka pencemaran nama baik oleh (mantan) direktur kemahasiswaan UI adalah memang benar juga. Itu adalah risiko yang harus saya bayar ketika terbuka mengungkapkan kebobrokan UI. Tapi apa urusannya ini semua dengan kritik saya terahadap lembaga penelitian yang tidak bertanggungjawab?

Jadi, seperti saya katakan, ada masalah serius dengan tulisan Callista. Tentu saja saya berharap kritik saya ini tak membuatnya patah semangat untuk bicara secara terbuka tentang mereka yang perlu dikritik. Indonesia membutuhkan lebih banyak orang sepertinya.

Hanya saja, Callista mungkin masih perlu belajar berlogika dan berargumen secara benar. Yang Callista perlukan hanyalah proses belajar yang lebih panjang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun