Dewan Pers sudah mengimbau agar stasiun-stasiun televisi tidak melakukan siaran langsung pengadilan dugaan penistaan agama Ahok. Saya pikir itu ide yang pantas. Tapi ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan:
Pertama-tama, walau tidak melakukan siaran langsung, lembaga penyiaran (stasiun televisi dan stasiun radio) seharusnya menyiarkan secara cukup lengkap apa yang terjadi dalam ruang pengadilan.
Dalam kebebasan pers, dikenal prinsip ‘hak publik untuk tahu’.
Demokrasi hanya bisa bekerja dengan baik kalau masyarakat memiliki cukup informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dunia. Masyarakat idealnya tidak boleh memahami dunia hanya berdasarkan informasi sepotong-potong, hanya mengandalkan apa yang dikatakan pakar, atau hanya mengikuti agenda setting media massa yang juga punya kepentingan politik beragam.
Masyarakat justru perlu mengetahui pandangan beragam pihak mengenai apakah benar Ahok memang menista agama. Kalau khalayak hanya mendengar hasil akhir keputusan oleh hakim, khalayak tidak memiliki informasi memadai untuk menilai sendiri apakah keputusan hakim memang tepat, memang adil atau tidak.
Kasus tuduhan penistaan agama oleh Ahok adalah kasus rumit. Masyarakat perlu tahu apa sebenarnya isi Al Maidah 51. Masyarakat perlu tahu keragaman interpretasi tentang Al Maidah 51. Masyarakat perlu tahu apa sebenarnya ucapan Ahok dan konteks ucapan tersebut di Pulau Seribu. Masyarakat perlu tahu apa keragaman pandangan ulama, keragaman pandangan ahli hukum, keragaman pandangan ahli komunikasi dan keragaman pandangan ahli bahasa.
Keragaman ini tidak bisa disajikan hanya dengan cuplikan berita atau pandangan para pakar dalam sebuah talkshow, misalnya. Masyarakat perlu dan wajib tahu apa yang berlangsung dalam rangkaian dialog di ruang sidang.
Hanya dengan proses itu, demokrasi berjalan di Indonesia. Hanya dengan cara itu, masyarakat menjadi dewasa. Kalau akhirnya hakim memutuskan Ahok bersalah atau tidak bersalah, masyarakat sudah mendengar sendiri pandangan-pandangan yang dikemukakan di ruang pengadilan.
Saya paham bahwa sebuah siaran langsung mengandung potensi bahaya. Misalnya saja, bagaimana kalau di ruang sidang, ada seorang saksi yang menyampaikan ujaran kebencian, seperti yang terjadi dalam Indonesian Lawyer Club beberapa waktu lalu? Karena itulah, siaran langsung sebaiknya tidak dilakukan karena pihak redaksi perlu memiliki waktu untuk mengedit bagian yang mungkin dianggap melanggar hukum di Indonesia.
Dengan kata lain, lembaga penyiaran mungkin tidak perlu melakukan siaran langsung, tapi seharusnya melakukan siaran tunda rekaman yang terjadi dalam persidangan secara lengkap. Begitu juga media cetak dan online sebaiknya menyajikan secara cukup lengkap transkrip pembicaraan di bagian khusus sehingga masyarakat bisa membacanya secara mendalam.
Mudah-mudahan ada stasiun televisi dan radio yang demi memperjuangkan kepentingan publik, memilih untuk menyajikan secara relatif lengkap isi persidangan Ahok. Kalau bisa rekaman persidangan itu disiarkan pada jam utama (prime time) sehingga bisa disaksikan dan didengarkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga tanpa harus mengganggu kerja di kantor, kegiatan kuliah, persekolahan, atau kegiatan rutin lainnya di hari kerja.