[caption caption="Sumber gambar: Kompas cetak"][/caption]Pada siapakah Dewan Perwakilan Rakyat harus berpihak? Kepentingan rakyat atau kepentingan pemodal besar?
Pertanyaan ini mengganggu saya ketika membaca pernyataan Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq (20/1) yang marah karena Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengundang masukan dari masyarakat dalam rangka proses uji kelayakan perpanjangan izin 10 stasiun televisi besar di Indonesia tahun ini.
Menurut Mahfudz, anggota DPR dari PKS ini, tindakan KPI tersebut ‘ilegal’. Mahfuds nampak sangat marah dengan inisiatif KPI meminta masukan dari masyarakat. Menurut Mahfudz, KPI tidak berhak meminta evaluasi stasiun televisi swasta oleh publik, karena itu tidak ada dalam aturan UU Penyiaran 2002.
Menurut saya, pendangan Mahfudz ini sangat tidak masuk di akal bisa keluar dari seorang anggota DPR yang berlatar belakang pendidikan S-1 Ilmu Komunikasi.
Jadi begini duduk perkaranya.
Tahun ini, 10 stasiun televisi terbesar di Indonesia harus memperpanjang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang sudah habis masa berlakunya. Dulu, kesepuluh stasiun televisi terbesar ini (RCTI, SCTV, Indosiar, ANTV, MNCTV, TV One, Trans, Trans 7, Metro, Global TV) memperoleh izin tanpa melibatkan publik. Ketika itu mereka mendapat izin melalui jalur pemerintah saja.Â
Sejak disahkannya UU Penyiaran 2002, kondisi berubah. Untuk bisa memperoleh atau memperpanjang izin, stasiun televisi harus melewati proses yang harus dilalui ‘dari bawah’. Jadi, pertama-tama, permohonan izin baru atau perpanjangan izin lama harus diajukan dan dievaluasi oleh KPI, yang kemudian akan merekomendasikan hasil evaluasi mereka ke Kominfo. Keputusan akhir ditentukan dalam rapat bersama yang dilakukan Menkominfo dan KPI.
UU menentukan aturan ini dengan dasar falsafah bahwa frekuensi siaran pada dasarnya adalah milik publik. Jadi penggunaan frekuensi publik harus menempatkan kepentingan publik pada prioritas tertinggi. Karena itu pula, pemberian izin selayaknya melibatkan publik. Lembaga yang mewakili publik dalam pengelolaan siaran ini adalah KPI. Dengan demikian, izin siaran tidak bisa diberikan oleh pemerintah sendirian.
Dalam konteks itulah, KPI membuka pintu bagi masukan dari publik. Saya bukan pecinta KPI, namun kali ini KPI harus dipuji. Alih-alih menggodog permohonan izin di belakang pintu tertutup dengan melibatkan hanya pemerintah dan mungkin pemodal televisi, KPI kali ini secara terbuka meminta publik untuk mengirimkan pendapat mereka tentang tampilan ke sepuluh stasiun televisi swasta. Pelibatan partisipasi publik ini adalah contoh baik tentang bagaimana seharusnya lembaga yang didanai anggaran negara bekerja.
Tapi tentu saja, pelibatan suara publik ini bisa mengancam kepentingan sebagian pemodal. Stasiun-stasiun televisi swasta yang selama ini sudah menyuguhkan tayangan yang sehat dan mendidik, tentu tidak takut. Masalahnya, ada juga yang sadar selama ini sering menyiarkan muatan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau bahkan meracuni masyarakat. Karena itu  kelompok ini  mungkin kuatir kalau masyarakat yang selama ini cenderung diam, kini diberi peluang bersuara tentang keburukan tayangan mereka, dan suara masyarakat itu akan digunakan KPI sebagai dasar evaluasi..
Karena itulah, reaksi pertama datang dari stasiun televisi swasta yang marah pada langkah KPI ini. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyatakan pelibatan publik ini bertentangan dengan hukum dan karena itu harus dihentikan (20/1). Â Ketua ATVSI, Ishadi SK, di berbagai kesempatan juga mengecam KPI yang dianggap akan membredel televisi swasta.