Terus terang saya termasuk orang yang heran kalau UU Pilkada kontroversial yang baru saja disahkan oleh DPR itu dianggap sulit digugat secara hukum
Saya justru percaya, UU itu rentan sekali. Pembatalannya relatif mudah. Dan kuncinya, suka tidak suka, ada di tangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Kubu Prabowo bisa saja bersuka cita karena menyangka sudah memenangkan pertarungan. Iba saya membayangkan mereka akan kembali kecewa. Dan yang akan memberikan pukulan telak kali ini adalah kembali SBY.
Argumen saya didasarkan pada Undang Undang Dasar yang sudah diamandemen.. Marilah kita baca pasal 20 yang bicara tentang DPR dan Undang-undang.
Dikatakan di sana, setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Kemudian dikatakan lagi, kalau tidak tercapai persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh lagi dajukan dalam persidangan DPR masa itu.
Jadi, agar sebuah RUU bisa disahkan menjadi UU, tidak bisa tidak harus ada ‘persetujuan bersama DPR dan Presiden’. Itu jelas sekali. Clear as a blue sky.
Apa yang terjadi dalam drama di DPR dari Kamis sampai Jumat pagi itu adalah pengambilan keputusan dalam DPR tentang UU Pilkada. Yang tidak dilakukan pada hari itu adalah ‘mencapai persetujuan bersama dengan Presiden’ sebagaimana diamanatkan UUD.
Pemerintah memang hadir di sana dengan diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Tapi pernyataan Mendagri adalah ‘pemerintah menghormati apapun keputusan DPR’. Tolong garis bawahi: menghormati tidak sama dengan menyetujui. Dan Mendagri tentu saja bukan Presiden.
Jadi sebenarnya proses pengesahan RUU ini masih kurang dalam satu aspek penting: adanya persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.