Bahasa dan budaya manusia selalu terhubung erat dengan lingkungan alam. Dalam komunitas yang sangat bergantung pada ekosistem lokal, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai medium untuk melestarikan pengetahuan lingkungan. Perubahan iklim mengancam keseimbangan ekosistem dan membawa dampak besar pada aspek linguistik dan budaya. Ketika habitat alami mengalami kerusakan, kata dan istilah yang terkait dengan flora, fauna, dan fenomena alam juga menghilang. Ahli linguistik dari berbagai belahan dunia, seperti Nicholas Evans, telah mencatat bahwa bahasa-bahasa yang banyak kosakatanya berhubungan dengan lingkungan adalah yang paling rentan terhadap perubahan lingkungan yang cepat. Dengan demikian, perubahan iklim tidak hanya mengancam keberlangsungan alam, tetapi juga membahayakan bahasa dan pengetahuan tradisional yang telah dibangun selama berabad-abad.
Salah satu contoh konkret adalah komunitas Inuit di Arktik. Inuit memiliki bahasa yang kaya akan kosakata untuk menggambarkan salju, es, dan fenomena alam kutub lainnya. Dengan mencairnya es di wilayah Arktik akibat pemanasan global, banyak istilah yang mereka gunakan menjadi kurang relevan atau tidak lagi digunakan. Misalnya, kata-kata seperti "siku," yang menggambarkan es yang retak tetapi belum pecah, mungkin akan kehilangan maknanya karena kondisi es yang berubah drastis. Ahli antropologi, seperti Igor Krupnik, menyebutkan bahwa hilangnya istilah-istilah ini menunjukkan perubahan yang mendalam dalam cara masyarakat Inuit berinteraksi dan memahami lingkungan mereka. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah budaya dan linguistik yang kompleks.
Di Indonesia, perubahan iklim juga mempengaruhi bahasa dan budaya lokal. Masyarakat tradisional seperti Suku Bajo di Sulawesi, yang dikenal sebagai "manusia laut," sangat bergantung pada ekosistem laut untuk kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki kosakata yang sangat spesifik untuk berbagai jenis ikan, arus laut, dan fenomena cuaca. Namun, dengan naiknya permukaan laut dan perubahan pola cuaca akibat pemanasan global, banyak dari istilah ini mulai jarang digunakan atau bahkan terlupakan. Peneliti seperti Dr. Firdaus Haris mengamati bahwa kehilangan kosakata ini mencerminkan hilangnya pengetahuan tradisional tentang laut yang telah diwariskan secara turun-temurun, memperlihatkan dampak langsung perubahan iklim terhadap keberlanjutan bahasa lokal.
Kehilangan kosakata yang berkaitan dengan alam adalah indikator kepunahan bahasa secara umum. David Crystal, seorang ahli linguistik, berpendapat bahwa bahasa yang kaya akan istilah lingkungan biasanya ditemukan di komunitas yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai contoh, bahasa-bahasa di kawasan Amazon memiliki kosakata yang luas untuk tanaman dan hewan di hutan hujan. Ketika deforestasi dan perubahan iklim mengancam ekosistem ini, tidak hanya spesies yang terancam punah, tetapi juga kata-kata dan pengetahuan lokal terkait yang berangsur hilang. Crystal menegaskan bahwa setiap bahasa yang hilang berarti hilangnya perspektif unik tentang alam dan cara manusia berinteraksi dengannya, memperburuk krisis lingkungan dan budaya yang sedang berlangsung.
Revitalisasi bahasa menjadi salah satu cara melawan dampak perubahan iklim pada bahasa. Organisasi seperti UNESCO telah memulai berbagai inisiatif untuk mendokumentasikan bahasa-bahasa yang terancam punah, termasuk kosakata terkait ekologi dan alam. Contohnya, proyek dokumentasi bahasa di Kepulauan Pasifik yang berfokus pada pengetahuan maritim tradisional. Namun, meskipun usaha ini penting, revitalisasi bahasa tidak dapat berjalan sendiri tanpa perlindungan lingkungan yang mendukung keberlangsungan budaya lokal. Menurut ahli linguistik revitalisasi, Leanne Hinton, perubahan lingkungan yang cepat akan terus mengancam keberadaan bahasa-bahasa lokal meskipun ada upaya revitalisasi, sehingga diperlukan langkah terpadu antara pelestarian budaya dan upaya mitigasi perubahan iklim.
Migrasi akibat perubahan iklim juga berkontribusi pada hilangnya bahasa lokal. Ketika komunitas tradisional terpaksa meninggalkan tanah mereka karena kekeringan, banjir, atau bencana lainnya, mereka juga meninggalkan lingkungan yang membentuk identitas linguistik mereka. Proses migrasi ini menyebabkan asimilasi bahasa yang lebih dominan di daerah baru, dan secara bertahap menghapus penggunaan bahasa asli. Penelitian oleh linguistik sosial seperti Dr. Alexandra Aikhenvald menunjukkan bahwa migrasi akibat perubahan iklim mempercepat kepunahan bahasa, terutama ketika generasi muda tidak lagi mempelajari bahasa ibu mereka. Dalam situasi seperti ini, bahasa yang membawa identitas budaya dan pengetahuan tradisional terancam hilang dalam satu atau dua generasi.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perubahan lingkungan telah lama memengaruhi perkembangan bahasa. Contoh klasik adalah perubahan kosakata pada masyarakat Viking yang meninggalkan Greenland akibat penurunan suhu pada abad ke-14. Ketika komunitas ini bermigrasi ke wilayah lain, mereka mulai mengadopsi bahasa dan kosakata baru yang lebih relevan dengan lingkungan baru mereka. Studi oleh sejarawan lingkungan seperti Jared Diamond mengungkapkan bahwa perubahan iklim pada periode tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap hilangnya beberapa dialek Norse yang unik. Sejarah ini menjadi pengingat bahwa bahasa dan budaya selalu dinamis dan dipengaruhi oleh kondisi alam yang berubah.
Saat ini, digitalisasi bahasa menjadi strategi penting dalam mendokumentasikan kosakata lingkungan yang terancam. Beberapa organisasi nirlaba dan lembaga penelitian bekerja sama dengan komunitas lokal untuk membuat arsip digital dari bahasa-bahasa yang berpotensi hilang. Contohnya, proyek Living Tongues Institute for Endangered Languages berfokus pada pengumpulan data linguistik dari komunitas yang terancam oleh perubahan iklim. Dokumentasi ini tidak hanya melestarikan bahasa, tetapi juga menyimpan pengetahuan lingkungan yang tertanam dalam bahasa tersebut, memungkinkan generasi mendatang untuk mempelajari dan mungkin merevitalisasi kosakata yang hilang.
Perubahan iklim juga mempengaruhi cara masyarakat memandang alam dalam konteks budaya. Pada komunitas petani di wilayah Himalaya, perubahan pola cuaca mempengaruhi praktik pertanian tradisional yang terkait erat dengan kalender pertanian lokal. Kosakata untuk menggambarkan musim, jenis tanah, dan teknik pertanian mulai berubah atau hilang karena petani mengadaptasi praktik baru yang lebih sesuai dengan kondisi iklim yang berubah. Penelitian oleh ahli etnolinguistik seperti Mark Turin menunjukkan bahwa perubahan dalam praktik budaya ini berdampak langsung pada bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dan memahami lingkungan, memperlihatkan hubungan erat antara perubahan iklim dan perubahan linguistik.
Ada juga peningkatan penggunaan bahasa yang lebih global dalam diskusi perubahan iklim. Istilah-istilah seperti "carbon footprint," "sustainability," dan "climate action" menjadi bagian dari kosakata sehari-hari di seluruh dunia. Bahasa Inggris sebagai bahasa global sering menjadi pilihan dalam diskusi ilmiah dan aktivisme lingkungan, menggeser bahasa lokal dalam pembahasan isu iklim. Ahli linguistik seperti Alastair Pennycook mengungkapkan bahwa dominasi bahasa global dapat mengikis bahasa lokal yang memiliki terminologi unik untuk menggambarkan fenomena iklim lokal, sehingga mengurangi keberagaman linguistik dalam narasi perubahan iklim.
Melestarikan bahasa lokal menjadi penting sebagai bentuk konservasi pengetahuan lingkungan. Komunitas adat sering kali memiliki pengetahuan ekologi tradisional yang kaya, yang disampaikan melalui bahasa mereka. Pengetahuan ini mencakup teknik pertanian berkelanjutan, metode pengelolaan air, dan praktik pelestarian hutan yang efektif. Ketika bahasa lokal hilang, bersama dengan itu hilang pula pengetahuan yang tidak tercatat dalam literatur ilmiah. Ahli ekologi linguistik seperti Luisa Maffi berpendapat bahwa melindungi bahasa lokal sama pentingnya dengan melestarikan spesies yang terancam punah, karena keduanya menyimpan informasi kritis tentang cara hidup yang berkelanjutan.