Aku orang Jakarta.
Memang sih, asal muasal orang tuaku dari Sumatra Selatan sana. Jika ditanya oleh orang lain yang heran melihat kulit putih dan mata sipitku, biar gampang aku langsung bilang bahwa aku orang Palembang dan banyak orang yang langsung mengerti darimana asal kulit putih dan mata sipitku berasal.Â
Tapi, aku sendiri kurang menguasai bahasa Palembang jika reaksi orang yang mendengar jawabanku ini adalah mengajakku berbicara bahasa Palembang. Karena, sejak kecil bahasa daerah yang aku gunakan di rumah adalah bahasa dusun Sekayu. Sekayu ini kota kabupaten Musi Banyuasin. Jika kalian naik mobil dari Palembang, lamanya 3 jam perjalanan darat dari kota Palembang.
Perbedaan antara bahasa Palembang dan bahasa Sekayu banyak sekali. Jika bahasa Palembang banyak berakhiran vokal "o" maka bahasa Sekayu banyak berakhiran vokal "e" tarling (seperti huruf E yang terbaca di kata Pepes Ikan).Â
Kabupaten Musi Banyuasin sendiri terdiri dari banyak dusun-dusun kecil. Dusun tuh sama seperti kampung atau desa. Nah, ayahku dari dusun Bumi Ayu, sedangkan ibu berasal dari dusun Kayu Ara. Â Tapi keduanya bertemu di Bandung, sehingga menguasai bahasa Sunda dengan baik.Â
Lalu setelah menikah menetap di Jakarta hingga akhir hayat mereka. Kami anak-anaknya, hanya mengerti bahasa daerah Sekayu sedikit, mengerti bahasa Sunda lebih sedikit lagi. Dan keseharian biasa menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta. Jarang sekali mudik lebaran, sehingga kami menyebut kami orang Jakarta.
Aku orang Jakarta.
Setiap kali lebaran, sebagaimana penduduk Jakarta asli lainnya yang bukan pendatang. Â Aku tetap berdiam di kota Jakarta. Amat sangat jarang mudik ke daerah. Kebetulan, suamiku juga orang Jakarta. Jadi, setiap kali lebaran tiba, aku sekeluarga amat menikmati suasana kota Jakarta yang sepi dan lengang.
Kami bisa berjalan-jalan memutari kota Jakarta tanpa khawatir terjebak macet atau antrian panjang atau bertemu kerumunan. Kita bisa naik MRT atau trans Jakarta atau Commuter Line yang sepi dan otomatis terlihat lebih bersih. Â Jakarta benar-benar sepi dan lengang. Dulu, beberapa orang bahkan pernah mengabadikan suasana sepi ini untuk membuat photo project di tengah jalan Sudirman.
Mereka membawa ban renang super jumbo yang berwarna emas, atau meja kecil dan kursi kecil, lalu mulai berfoto di tengah jalanan kota Jakarta yang sepi.