Keseharian pulang pergi bertugas menuju sebuah tempat yang identik dengan sebutan tempat bermain, berteman banyak, wajah-wajah imut sehat, cerdas, dan ceria selalu pastinya perlu kendaraan. Si biru dengan penampakan yang gagah perkasa, dengan pelek roda CW, bodinya yang sporty, sepertinya bisa mengelabui penampakan dari pemiliknya.Â
Teringat pada awal perkenalan MPLS dengan para wali murid di tahun pelajaran yang baru, si biru ku selalu terparkir sebelum mereka datang mengantar putra-putri tercintanya ke sekolah. Aku menyambut para calon Pemimpin Bangsa kelak di saat mereka dewasa nanti dengan senyum, sapa, salam, sopan dan santun ala Guru PAUD. Mereka tidak mengetahui siapa pemilik si biru yang selalu terparkir terdepan.Â
Hingga suatu waktu ada tugas sekolah dan aku harus meninggalkan urusan di kelas pada Guru Pendamping dengan berkendara sebelum jam KBM dimulai. Mereka terkaget dan baru tahu kalau si biru yang terparkir itu ternyata pemiliknya adalah aku. Hanya mau bilang..WOW..gitu..?
Ya sudahlah apa pun kendaraannya yang penting tidak menghalangi kinerja dan etos kerja si pemilik biru dalam menjalankan tugas amanah sebagai Pendidik. Titik bukan koma, Gurunya cantik minumnya curcuma. Ups! Narsistik...?
Mau ikutan kepo enggak mengapa si biru itu menjadi kendaraan favoritnya?
Begini ya bestie kisahnya perlu persiapan tisu juga tak mengapa. Jangan lupa camilan dan segelas es teh lemon manis atau pun kopi juga boleh, kok!
Teringat pada masa itu keadaan genting membuat ku harus bisa berkendara minimal kendaraan roda dua bukan roda tiga atau roda empat. Rekan sejawat, partner terbaik mendampingi di kelas mengalami sakit yang berat dan aku tidak peka. Huuukkk...huuuk..
Bukan tidak empati dan simpati pada rekan, sobat terbaik yang selalu memberikan semangat lewat tutur kata yang arif dan bijak ini. Beliau adalah sosok single parent yang sangat luar biasa dan tidak pernah menampakkan kesedihan di muka umum. Pembawaannya yang tenang, lembut tutur katanya ternyata menyimpan rasa sakit yang luar biasa.Â
Singkat kata singkat cerita, pada akhirnya aku memberanikan diri untuk sekadar membantunya dengan apa yang aku bisa. penyakit ganas yang dideritanya membuatnya tidak lagi bisa berkendara. Ketiga anaknya masih usia sekolah kala itu, dan aku sebagai bestie nya mau tidak mau harus bisa membawa motor untuk sekadar mobilitas mengurus segala keperluannya berobat.Â
Kebetulan kendaraan roda dua yang menganggur di rumah saat itu tidak segagah si biru yang hingga saat ini menjadi kendaraan favorit. Apakah ujug-ujug aku bisa bermotor ria kala itu?Â
Tak terbersit niatan di hati untuk bisa membawa kendaraan ke sekolah. Aku lebih nyaman memakai jasa angkutan umum atau kendaraan berbasis online yang kala itu belum seramai sekarang. Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk meringankan sakit bestie terbaik yang sedang berjuang melawan sakit yang sangat cepat sudah merusak bagian organ lainnya di dalam tubuh. kanker itu pun pada akhirnya merenggut nyawanya.Â