Mohon tunggu...
Ade Irmayanti
Ade Irmayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/semester 6/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya seorang mahasiswa prodi Komunikasi Penyiaran Islam, yang memiliki hobi menulis dan suka mencoba hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perkembangan Regulasi Media Massa di Indonesia dan Tantangan dalam Penerapannya

2 Juli 2023   10:53 Diperbarui: 2 Juli 2023   11:24 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

I. PENDAHULUAN

Pada era yang serba digital seperti sekarang ini, dimana semua teknologi sudah semakin canggih turut mempengaruhi perkembangan dan penerapan regulasi media massa, termasuk di Indonesia. Media massa merupakan produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa yang mampu memenuhi kebutuhan manusia baik dari segi informasi maupun hiburan. Media massa di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu media cetak (seperti: surat kabar, buku, brosur, majalah dan sebagainya), dan media elektronik (seperti: televisi, radio dan lain-lain).

Media massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, edukasi, kontrol sosial, dan hiburan, serta menjadi pilar keempat dalam Negara demokrasi. Dalam hal ini, media mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam membentuk pola pikir, sikap dan perilaku khalayaknya. Oleh karena itu, untuk menyelaraskan perilaku media dengan kepentingan nasional, diperlukan regulasi yang menjamin profesionalisme media. Regulasi sendiri dimaknai sebagai peraturan yang harus diikuti oleh para pelaku media dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat. Regulasi dapat berupa undang-undang yang di tetapkan oleh pemerintah (dalam media massa misalnya: UU Pers, UU Penyiaran dan sebagainya), kode etik berupa keputusan organisasi profesi (seperti kode etik jurnalistik) (Akil, 2014). Tentunya dalam penerapan regulasi tersebut terdapat proses yang panjang, mulai dari era orde lama, orde baru, hingga era reformasi, yang kesemuanya itu terus mengalami perkembangan hingga ditetapkannya regulasi media massa yang sekarang ini, seperti: UU No. 40/1999 tentang pers dan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. 

Namun demikian, meski sudah ada regulasi yang mengatur, dalam prosesnya terdapat tantangan yang terus dihadapi oleh media massa dalam menjalankan peran dan fungsinya. Terlebih di era yang serba canggih dan cepat seperti sekarang ini. Tulisan ini akan mengkaji mengenai perkembangan regulasi media massa mulai dari era orde lama, orde baru, hingga reformasi. Serta tantangan apa saja yang dihadapi dalam penerapan nya.

II. PEMBAHASAN

Pekembangan Regulasi Media di Indonesia

Penerapan regulasi media massa di Indonesia tidak serta merta terjadi begitu saja, terdapat proses atau perkembangan dalam penerapannya, diantaranya:

1. Era Orde Lama

Pada era ini, media massa ditandai dengan corak pers sebagai alat perjuangan. Yang mana ketika itu, pers digunakan untuk menyuarakan semangat kemerdekaan dan sebagai alat untuk menentang penduduk sekutu, hal ini terjadi saat era revolusi fisik sekitar tahun 1945-1949. Kemudian, pada 1950-1959 dimana ketika sistem pemerintahan berubah menjadi sistem demokrasi liberal, menjadikan masyarakat bebas menyuarakan pendapat dan pikirannya melalui pers, sehingga fungsi pers saat itu berubah menjadi pranata sosial yang menjembatani atau sebagai penghubung lidah masyarakat. Namun, Pada akhir periode Demokrasi Liberal dan Orde Lama (1957-1966) Kepala Staf Angkatan darat selaku Penguasa Militer mengeluarkan Peraturan KSAD No.PKM/001/0/1956 yang berisi larangan kritik terhadap presiden, wakil presiden, pejabat pemerintah, pegawai negeri dan penghinaan terhadap golongan masyarakat yang dapat menimbulkan keonaran.

Selanjutnya, saat sistem demokrasi kembali ke sistem demokrasi terpimpin, melalui Peraturan PEPERTI No.10 Tahun 1960 tentang Izin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah yang ditandatangani Presiden Soekarno selaku Panglima Perang Tertinggi menyatakan larangan menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa ijin. Jika ada yang melanggar, dapat disita atau dimusnahkan. Sementara ketika Deklarasi Politik menjadi haluan Negara, ketetapan MPR No II/MPR/1960 tentang Penerangan Massa menjadi dasar pelaksanaan Manipulasi Pers Nasional dalam Demokrasi Terpimpin. Regulasi ini mengharuskan setiap perusahaan media cetak menjadi instrumen kepentingan pemerintah dan ketentuan mengatur kewajiban untuk memiliki Surat Ijin Terbit (SIT). (Hapsari, 2012)

2. Era Orde Baru

Pada era orde baru mulai dibuat Undang-Undang Pers. Pembuatan Undang-Undang Pers ini juga tidak tetap begitu saja, melainkan mengalami beberapa kali perubahan, diantaranya: Pertama, UU pertama yaitu UU No. 11 tahun 1966 tentang pokok-pokok pers, pada undang-undang ini kebijakan SIT masih berlaku. Kedua, UU No. 4 tahun 1967, pada undang-undang ini kebijakan pers semakin di perketat dengan adanya ketentuan Surat Izin Cetak (SIC). Ketiga, UU No. 21 tahun 1988, pada undang-undang ini bersifat mengekang media massa dengan diharuskannya setiap penerbitan pers mempunyai SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) sebagai pengganti SIT.

3. Era Reformasi

Pada era reformasi ini, terjadi perubahan yang tajam pada lanskap politik tahun 1998, akibat krisis moneter yang melanda indonesia sejak tahun 1997, yang meruntuhkan pemerintahan rezim Soeharto dan digantikan dengan pemerintahan B.J. Habibie, yang membawa perubahan positif dalam perkembangan hukum media massa. Melalui TAP MPR RI No. XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia mengatur jaminan dan perlindungan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media massa.

Hal ini ditandai dengan terbitnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam ketentuan tersebut secara tegas mengatur mengenai penghapusan penyensoran, pelarangan penyiaran dan masalah pembredelan. Sehingga, terlihat bahwa peran pers semakin menguat pasca reformasi 1998, pers tidak lagi terikat oleh SIUPP sehingga dapat menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, juga sebagai pilar keempat dalam demokrasi. (Hapsari, 2012)

Selanjutnya, saat pemerintahan dipimpin oleh Presiden Gus Dur, melakukan penghapusan departemen penerangan (Deppan) yang dianggap sebagai senjata utama rezim Soeharto untuk mengontrol media. Selain itu, Gus Dur juga memberikan perizinan dan pengawasan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, dengan menerbitkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, untuk menggantikan undang-undang sebelumnya, yakni UU No. 24 tahun 1997.[1]

Begitupun pada pemimpin selanjutnya, dalam rangka menetapkan perubahan struktural dalam perkembangan media massa di Indonesia, maka berbagai regulasi terkait media massa di diterbitkan, mulai dari UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi, dan UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi.

Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan hak bermedia bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam mengakses, memproduksi dan menyebarkan informasi (Nugroho, 2012). Melalui penerapan regulasi tersebut diharapkan media massa dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai kontrol sosial dan pilar keempat dalam sistem demokrasi ini.

Tantangan Regulasi Media Massa

Perkembangan media di Indonesia merupakan hasil dari perubahan inovasi, adopsi dan adaptasi terhadap teknologi, apalagi perkembangan teknologi yang berkaitan dengan media saat ini telah berkembang sangat cepat, sehingga mampu mengubah wajah media sepenuhnya. Infrastruktur media saat ini juga telah bergeser menuju konvergensi dan digitalisasi (Nugroho, 2012). Tentu ini akan menjadi tantangan baru dalam penerapan regulasi (kebijakan) media massa yang telah ada. Terlebih tantangan yang hadir saat ini tidak hanya dari perkembangan media nya saja, melainkan juga dari sikap dan perilaku para penggunanya. Dimana para pengguna terutama generasi baru, sudah jarang yang membaca surat kabar, atau pun membeli media elektronik, karena fasilitas internet yang telah di integrasikan ke gadget modern sehingga memudahkan mereka.

Akibatnya, masyarakat saat ini lebih sering mengakses media digital (internet) dari pada media konvensional, karena pada media digital segala bentuk informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat selalu tersedia dengan cepat. Sehingga hal ini juga, menuntut kepada para pelaku media, untuk bisa mentransmisikan informasi dengan cepat agar dapat memenuhi kebutuhan audiens. Hal ini tentunya akan berdampak pada arus informasi yang semakin deras di kalangan masyarakat dan dapat mengarah pada penyebaran disinformasi, misinformasi dan malinformasi. Terlebih saat ini belum ada regulasi yang mampu menjaga dan mengatur pemberitaan-pemberitaan di media online, sehingga hal inilah yang menjadi tantangan berat bagi para pemangku regulator di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Johnny dalam kominfo.go.id mengingatkan kepada insan pers bahwa:

“tren berita clickbait sensasi yang marak terjadi di media online di harapkan menjadi perhatian insan pers untuk menjadikan ruang digital nasional yang bersih dan bermanfaat. bagi pengguna, termasuk pers, jurnalis, jurnalisme dan media”.[2]

Tantangan serupa juga terjadi pada media penyiaran Indonesia. Dimana Undang-undang penyiaran sebagai regulator dianggap belum maksimal, hal ini terjadi lantaran masih adanya konglomerasi media dan persaingan yang tidak sehat dalam bidang penyiaran. Hal ini terlihat dari, masih banyaknya pemilik media yang memiliki stasiun televisi lebih dari satu, misalnya saja: MNC Group yang memiliki beberapa stasiun radio seperti: Sindo Radio, Global Radio, Radio Dangdut Indonesia, dan Trijaya FM. Begitupun pada stasiun televisi mulai dari RCTI, MNC TV, Global TV, Indovision dll. Kemudian Trans Corporation, yang memiliki stasiun televisi Trans TV dan Trans 7. Lalu Bakrie Group yang memiliki stasiun televisi ANTV dan TVONE. Dan pemilik media lainnya yang memiliki stasiun televisi lebih dari satu. (Karman, 2014)

Hal ini berdampak pada hilangnya keberagaman konten pada media sehingga konten-konten pada media televisi cenderung sama dan tidak bervariasi. Selain itu, dibalik perkembangan teknologi yang semakin canggih, mendorong sistem siaran ke streaming, baik televisi maupun radio yang semakin mudah diakses oleh masyarakat, hal ini tentunya menjadi tantangan bagi para pemangku regulator untuk bisa memastikan media dapat menjalankan fungsinya secara ideal dan bertanggung jawab agar informasi yang disampaikan dapat mencerdaskan publik.


III. KESIMPULAN

Proses penerapan regulasi di Indonesia tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses sejarah yang cukup panjang, mulai dari masa Orde Lama yang ditandai dengan Pers sebagai alat perjuangan, hingga akhirnya melahirkan suatu regulasi bagi media masa berupa Surat Izin Terbit (SIT) yang mengharuskan pemilik media patuh dengan pandangan pemerintah pada saat itu. Kemudian, pada masa Orde Baru mulai dibentuk undang-undang Pers pertama, dan beberapa kali melakukan perubahan pada undang-undangnya, dan akhirnya menerbitkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk menggantikan SIT. Dan pada masa Reformasi, terjadi perubahan yang positif dalam perkembangan hukum media massa, hal ini ditandai dengan terbitnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang secara tegas diatur ketentuan mengenai penghapusan penyensoran, pelarangan penyiaran dan masalah pembredelan. Sehingga, peran pers pasca reformasi 1998 makin menguat, pers tidak lagi terkungkung oleh SIUPP sehingga mampu menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, juga sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi. Begitupun pasca reformasi penerapan regulasi media massa lengkapi dengan diterbitkannya undang-undang yang terkait dengan media massa, salah satunya UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Sementara dalam penerapannya tentu ada tantangan yang dihadapi, terlebih saat ini perkembangan teknologi sudah semakin canggih, sehingga berdampak juga pada perkembangan media massa yang turut mengikuti perkembangan teknologi. Dan hal ini menjadikan tantangan baru bagi pemangku regulator, apalagi saat ini masyarakat terutama generasi baru, sudah jarang yang membaca surat kabar, ataupun membeli media elektronik, karena fasilitas internet yang telah diintegrasikan ke gadget modern sehingga memudahkan mereka. Dengan kemudahan untuk menyampaikan dan menerima informasi tersebut, menjadikan arus informasi semakin deras dan berdampak pada penyebaran disinformasi, misinformasi dan malinformasi. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pemangku regulator di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Akil, Muhammad Anshar. (2014). REGULASI MEDIA DI INDONESIA (Tinjauan UU Pers dan UU Penyiaran). Jurnal Dakwah Tabligh. Vol. 15. No. 2, Desember.

Hapsari, Sinung Utami Hasri. (2012). HUKUM MEDIA, DULU, KINI, DAN ESOK. Riptek. Vol.6 No.I.

Karman. (2014). Monopoli Kepemilikan Media & Lenyapnya Hak Publik. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi. Vol. 5 No. 1 Juni.

Kominfo, https://www.kominfo.go.id/content/detail/47295/pers-harus-siap-hadapi-tantangan-era-distrupsi-digital/0/berita_satker  diakses pada 30/06/2023 pukul 12.25 WIB.

Nugroho, Yanuar., Muhammad Fajri  Siregar., Shita Laksmi. (2012). Memetakan kebijakan media di Indonesia. (edisi bahasa indonesia). (Jakarta: CIPG dan HIVOOS. 

SK, Ishadi. Deregulasi Media dari Masa ke Masa. https://news.detik.com/kolom/d-4682330/deregulasi-media-dari-masa-ke-masa diakses pada 29/06/2023 pukul 13.41 WIB.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun