Ketika sekolahnya menggelar  Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) atau yang lebih populer dengan sebutan Masa Orientasi Sekolah (MOS), anak saya menolak ikut. Dia menolak  mengenakan atribut yang menurutnya tidak ada kaitannya dengan pendidikan yang akan ditempuhnya di sekolah tersebut.
Hari Senin kemarin seharusnya menjadi hari yang menyenangkan buat anak saya, Alya Namira Nasution (14 tahun). Karena pada hari itu, dia mulai memasuki masa yang menurut kebanyakan orang, termasuk saya, merupakan masa yang paling mengesankan dan tak terlupakan. Hari pertama menjadi siswi SMA! Tapi, di hari pertama itu pula, dia pulang dengan wajah murung. Dia kecewa karena sekolahnya ternyata sama saja dengan kebanyakan sekolah lainnya, karena materi pada hari pertama itu adalah pengumuman tentang pelaksanaan MPLS atau MOS pada keesokan harinya, yakni hari ini, Selasa (28/7). Pengumuman tersebut juga menyebutkan apa-apa saja yang harus dibawa para siswa, mulai dari air minum 1,2,3,5,7 (air mineral merek Prima), hingga atribut berupa topi dengan rumbai-rumbai tali plastik yang jumlahnya sudah ditentukan. Sedangkan tasnya adalah karung goni yang saat ini tentu saja sudah susah ditemukan, karena umumnya beras dan tepung dikemas dengan karung plastik. Merepotkan, tentu saja. Bisa dibayangkan pula bagaimana penampilan mereka saat mengenakan atribut tersebut, bukannya lucu, malah terkesan konyol.Lantas, apa kaitannya dengan bagaimana siswa mengenali lingkungan sekolah mereka? Penataran P-4Saya tidak tahu sejak kapan memasuki SMP dan SMA harus melalui proses MOS. Setahu saya, masa-masa konyol perploncoan ini hanya saya alami saat menjadi menjadi mahasiswa baru. Saya masih ingat betul bagaimana saya dan teman-teman seangkatan di FISIP USU diharuskan memakai dasi dari petai yang matanya berjumlah 9 sesuai nomor fakultas saya. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya mencari petai bermata 9. Belum lagi rambut juga dikuncir 9 dan memakai pita dari tali plastik dengan 9 warna. Selain itu, saya dan teman-teman juga disuruh memakai dot yang dikalungkan di leher. Atribut yang memalukan itu harus dipakai sejak dari rumah hingga kampus dan tidak boleh diganti hingga masa Ospek berakhir. Beberapa teman sengaja meminta surat dokter agar terhindar dari ritual yang sama sekali tidak bermanfaat ini.  Sedangkan masa-masa orientasi di SMP dan SMA yang saya ingat betul adalah mengikuti penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).  Meski menjemukan, tapi itu masih lebih baik ketimbang MOS yang sekarang mulai meresahkan karena identik dengan bulying dari senior kepada junior. MOS juga kerap menjadi ajang balas dendam dari siswa yang pernah diplonco kepada junior berikutnya. Kalau mereka dulu dipermalukan dengan atribut yang konyol, mereka juga akan melakukan hal yang lebih memalukan lagi kepada juniornya. Begitu terus menerus. Lalu, manfaatnya dimana?Tapi, ada juga siswa yang justru sangat menyenangi momen-momen saat berlangsungnya MOS.  Menurut mereka, tanpa MOS tidak akan ada cerita dalam catatan awal sekolah mereka. "Kalau nggak ada MOS, ya nggak seru dong. Justru MOS itu yang aku tunggu, tante," ujar seorang peserta MOS yang tadi saya temui. Dia sama sekali tidak merasa risih  dengan topi dari mangkuk plastik dan kaus kaki beda warna serta rambut yang dikuncir sesuai tanggal lahirnya.  Tentang anak saya, dia kemudian memilih menulis  surat permohonan kepada pihak sekolah bahwa dia bersedia mengganti ketidakikutsertaannya di MOS dengan tugas yang berkaitan dengan sekolah, seperti menulis essay tentang visi dan misinya untuk sekolahnya tersebut. Alhamdulillah, pihak sekolah menerima tawarannya itu. Deal!Â
Foto ilustrasi: Â Google Images
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H