"oh, ustaz iku tho ( sambil menunjuk kearah ustadzku). iya emang, ustadz itu beda dengan yang lain. kalau yang lain masih membawa titel ustadznya di warung, kalo dia engga'. di warung ya di warung, bukan di pondok. orangnya gitu emang", jawabnya. "eh maksudmu ?" tanyaku. " gini loh de, orang kalau sudah dapat titel, kadang-kadang mereka begitu bangga dengan itu. sampai-sampai lupa tempat. g ruh nggon. di warung masih dibawa, di pasar masih dibawa. orang sekarang itu kalau sudah bertitel enggan disamakan sama orang yang punya titel. mentang-mentang jadi pejabat, kemana-mana pake' bodygard. mentang-mentang kiai, tangannya harus diciumi. mereka lupa kalau mereka itu menusia. mereka masih memakai sistem kuno, yang bertitel yang di atas, yang ngga' punya, di bawah saja. lihat tuh ustadzmu, dia copot titel ustadznya, karena memang dia tahu disini bukan tempatnya. ketika di sini, di warung kopi, dia anggap semuanya sama. ngga' ada namanya ustadz, ngga' ada namanya murid yang ada hanya teman ngopi."
"oh gitu ya" jawabku.
"andai saja semua pejabat di negeriku ini semua seperti ustadzku, pasti negeri ini akan lebih hebat dari Kerajaan majapahit, hahahahahahhahahaahahaha .... "guyonku.
suasana ngopi waktu itu begitu syarat akan kehangatan berbagi antar sesama bagiku. bukan karena dia itu menjadi itu, karena saling berbagi cinta antar sesama, sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H