Entah kata apa yang cocok untuk menggambarkan kota ini, kota dengan ribuan bunyi klakson, dengan jutaan lampu kendaraan, dengan derungan motor-motor tak bertanggung jawab. Kota dengan ribuan pengendara yang meng-aku-kan diri sebagai seorang rossi jalanan. Dengan pengendara yang asal serobot lampu merah , membuat jalanan semakin ramai memekkkan telinga.
Kota dengan gedung-gedung pencakar langit, gedung yang seakan saling berlomba untuk tumbuh paling besardan tinggi. Gedung dengan kilauan cahaya lampu di setiap sudut mata memandang. Bangunan-bangunan pusat perbelanjaan yang tak terhitung jumlahnya, yang tanpa disadari itu menjadi salah satu umpan dari kepadatan kota ini.
Ya, inilah kota besar itu, kota dengan segala keluhan panik dari beberapa penumpang metromini. Bagaimana tidak, supir dari mobil berwarna keorenan ini seakan sedang bermain dengan sebuah nyawa. Ia menganggap mengemudikan metromini itu seperti sedang bermain bombomkar. Tetapi angkutan berkapasitas kurang lebih dua puluh lima kursi ini selalu menjadi pilihan utama transportasi bagi setiap penduduk kota ini. Jelas saja, ia mampu menempuh puluhan kilo perjalanan hanya dengan selembar uang pangeran antasari dan selembar uang kapitan patimura, itu tentu belum termasuk jaminan kecelakaan. Jadi sudah jelas, hanya orang-orang pilihan yang mampu tidur lelap di metromini ini. Hanya orang pilihan yang mampu duduk tenang saat si oren asik menyerobot beberapa kendaraan lainnya.
Inilah kota besar itu, kota yang terkenal dengan kemacetan parah, kota dengan volume kendaraan terbanyak. Kota dengan angkutan umum yang sesuka hati parkir sembarang, menaik dan menurunkan penumpang tidak sadar tempat. Inilah kota itu, kota yang setiap musim hujan selalu ramai dengan berita kebanjiran. Kota yang sejumlah kali diganti label menjadi tempat pembuangan sampah, tapi kota ini juga yang selalu mengeluh bila banjir datang. Kota yang hampir jarang di temui pepohonan, karena semua lahan habis dilahap mereka yang ingin berlomba memamerkan gedung pencakar langit. Kota yang panasnya seperti matahari berada sejengkal tangan di atas kepala.
Inilah kota besar itu, kota yang akan sepi hanya saat hari besar, ya iyalah, lha wong semua isi penduduknya perantau kok. Inilah kota itu, kota dengan jumlah pengamen dan pengemis yang entah ada berapa lusin. Pengamen yang bermacam bentuk, dari yang berdandan ala preman sampai ala ustad, tapi semua sama, seakan seperti sedang menodong para penumpang angkutan. Ini kota dimana antara pengamen dan knek si oren saling berteriak kasar. Kota dimana perempuan bebas mengekspresikan lekukan tubuhnya dan laki-laki bebas meng-eleminasikannya.
Inilah kota itu, kota dengan polusi yang menyakitkan hidung, menyesakkan nafas, pemborosan masker bukan? Namun semakin panas kota ini, semakin padat kota ini, semakin bau kota ini, semakin kasar kota ini, entah mengapa semakin banyak saja manusia-manusia dari kota lain yang memutuskan untuk menetap di kota ini. Alasan pekerjaan katanya.
Ya, benar, ini Jakarta, kota besar itu, kota dengan segala sumber mata pencahariannya, tapi juga dengan sejuta keluhannya, kota yang siang malam tak ada bedanya, tak ada sepinya, kota yang semakin malam semakin menunjukkan kekerasannya.
Bagi mereka yang sanggup tinggal di kota ini, maka mereka mampu menikmatinya, menganggap itu semua adalah sebuah permainan yang harus di menangkan, tapi untuk yang tidak sanggup, hanya ada satu saran,tinggalkan saja kota ini, toh Jakarta tidak akan pernah merasa kehilangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H