Diena merasa sesak. Dia tinggal di sebuah negeri antah-berantah, negeri dongeng yang konon makmur, gemah ripah loh jinawi. Negeri yang jika kau lempar biji segala buah akan tumbuh. Negeri yang konon hijau, tenteram dan damai.
Namun, hari itu jiwa Diena bergemuruh. Tidak ada ketenteraman di hatinya, hanya sesak. Hari itu, negeri antah-berantahnya, negeri Entah, telah memilih presidennya, pemimpin negeri. Yang membuat Diena sesak adalah hasil pemilihan umum negeri Entah. Bagaimana tidak sesak? Ternyata negeri Entah telah memenangkan pemimpin yang pembunuh.
Diena sudah hidup empat dekade di negeri demokrasi itu. Walaupun negeri Entah adalah negeri dongeng, negeri itu punya sistem, yang konon disebut demokrasi. Pada hari itu, hampir 70% rakyat negeri Entah memilih seorang pembunuh untuk memimpin negeri. Hampir 70% dari tiga ribu juta rakyat usia tujuh belas sampai dua ratus. Umur panjang dan suka kawin bikin rakyatnya sampai kepada total lima ribu juta jiwa. Persisnya 62% rakyat negeri Entah memilih seorang pembunuh untuk memimpin negeri. Diena tentu saja sesak. Bagaimana tidak sesak?
Segala bentuk keresahan menyerangnya. Apa negeri ini telah lupa berjemaah? Sepanjang Diena telah mengikuti 'pesta demokrasi' negeri Entah, sepanjang itu pula wajah sang pembunuh terpampang di kertas suara. Diena tak pernah sekali pun gentar, tak pernah ia mencoblos-pilih itu sang pembunuh. Tapi hari itu, sang pembunuh menang! Dia lah pemimpin negeri Entah yang baru. Perasaan Diena campur-aduk, sesak, bertanya-tanya. Apa rakyat negeri sebegitu bobroknya, sehingga seorang pembunuh dipercaya? Apalagi untuk memimpin lima ribu juta rakyat. Atau kah rakyat negeri Entah hanya lupa?
Tapi Diena tak pernah lupa. Bertahun lalu, saat ia masih empat belas. Hari itu sebuah pengumuman melalui pengeras suara menyuruh semua murid meninggalkan sekolah di tengah sunyi ujian. Diena dan murid-murid lain kebingungan, namun patuh saja. Segera berkemas dan berbaris keluar. Diena berharap bisa pulang bersama Bambang dan Tomi, teman-teman dekatnya. Mereka saling mencari, ketemu dan berjalan beriring keluar gerbang.Â
Mereka terkejut melihat jalan besar kosong melompong. Hanya sebuah mobil angkutan yang menyala mesinnya, di seberang jalan. Beberapa orang telah duduk di dalamnya. Diena, Bambang dan Tomi berlari menghampiri dan duduk. Baru saat terduduk, Diena menoleh keluar jendela belakang, tampak asap hitam mengepul-ngepul dari kejauhan. Entah apa yang terbakar-bakar. Puluhan, jika tidak ratusan orang, berlari-larian ke arah angkutannya. Diena dan teman-temannya bertatapan cemas. Angkutan belum juga beranjak. Puluhan orang yang berlari-larian mendekat.Â
Asap semakin hitam membakar langit di belakang mereka. Kini terlihat jelas orang-orang itu membawa pentungan, batu, kayu, besi. Seperti di film-film zombie apocalypse, pikir Diena. Puluhan orang itu makin dekat hingga Diena bisa menatap mata marah mereka. Mereka semua marah! Satu di antara mereka, seorang pemuda tanggung mengusung balok berujung paku beton, menatap ke dalam angkutan dari kaca belakang. Dia lalu berteriak setelah menatap Bambang, dan Bambang pun menatapnya, "SIPIT! Turun lo!" Rupanya orang-orang ini marah kepada Bambang, hanya karena matanya sipit. Kawanannya lari menyusul, sama marahnya, sama teriakannya. Seorang ibu memekik di sebelah Tomi, "Jalan Pak! Cepeeet!" Pak sopir menginjak gas, angkutan melaju tak terkejar amuk massa.Â
Diena menatap Bambang, tanpa tahu, saat itu mereka hampir mati, seperti juga orang sipit lain yang tak seberuntung mereka dan habis terbakar, hari itu, 15 Mei 1998. Beberapa minggu sebelumnya, puluhan mahasiswa diculik. Diculik dan pasti mati. Oleh orang yang sekarang menjadi pemimpin negeri, karena 62% dari tiga ribu juta rakyat telah memilihnya. Itu berarti hampir dua ribu juta jiwa memilih seorang pembunuh!
Belasan tahun sebelum mata sipit dan mahasiswa dibantai, ketika Diena barulah orok, sang presiden baru negeri Entah yang saat itu masih kepala tentara, berdiri di sebuah bukit di timur pulau, timurnya negeri. Dia menatap lembah yang penuh puluhan, jika tidak ratusan rakyat pulau: laki-laki, perempuan, tua, muda, kanak-kanak, bayi. Mereka dipagari tentara bersenjata dan berdiri memunggungi. Sang kepala tentara (yang kini presiden baru), mengangguk ke arah ajudannya. Ajudan mengangguk, tangan dikepalkannya ke udara lalu diturunkan cepat. Puluhan tentara menyalak-nyalakkan senapan mesin menembaki rakyat. Puluhan, jika tidak ratusan, roboh di atas tanah, di atas mayat-mayat lain yang roboh duluan. Desing peluru mengalahkan tangis kanak-kanak, bayi. Bayi-bayi masih memekik-mekik tak kena peluru. Dewasa sudah mati bertumpuk-tumpuk. Lalu seorang tentara berjalan santai dan menikam bayi-bayi itu. Sekarang sunyi.
Diena merinding membayangkan kejadian itu. Kejadian belasan tahun sebelum ia nyaris dibakar massa, kejadian saat ia baru lahir saja. Dan kini, dia menang, sang pembunuh itu. Dia yang dipilih rakyat negeri Entah sebagai pemimpin. Diena merasa sesak lagi. Ia merasa kalah, terasing, tersingkir. Diena tidak akan mengakui sang pembunuh sebagai presidennya, tapi dia presiden negerinya. Diena geram sendiri, sesak sendiri, kalah. Tak terima, tapi ia telah kalah. Kalah sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H