9...
"Karena kamu ikut saya ke tempat jauh itu." Saya maju lalu menekan tombol stop, lift berhenti dengan guncangan kecil. "Apa-apaan kamu!" Kamu berusaha menekan kembali tombol itu supaya lift kembali berjalan. Saya tarik tanganmu, kamu tak kuat, karena saya laki-laki. Saya dorong tubuhmu ke dinding lift, kamu tak kuat melawan, kamu berteriak tertahan, saya jatuhkan tubuhmu ke lantai. Lift berguncang pelan, saya tahan tubuhmu di sana, saya tatap matamu. Kamu menangis terpejam, saya usap mukamu, saya keluarkan pisau dari kantong celana. Kamu membuka mata, kamu memohon agar saya berhenti. "Maaf... saya cinta kamu..." Saya tancapkan pisau itu tepat di jantung kamu. Seketika kamu tak bergerak. Saya cabut pisau itu, darah segar mengucur seperti hujan yang saya suka. Saya peluk kamu yang tak bergerak, yang tak menolak. Saya bawa tubuhmu bersandar di dinding lift. Saya dan kamu berpelukan. Kamu bersandar di dada saya. Saya mencium dahimu, lalu pipimu, mata indahmu yang terpejam, bibir pucatmu, lehermu, jantungmu. Saya belai rambut pendekmu. Saya memelukmu lebih erat karena kehangatan perlahan telah menyelinap pergi darimu. Saya menangis, lalu tersenyum. Saya tancapkan pisau yang sama di pergelangan tangan saya. Saya iris vertikal, darah mengucur seperti hujan yang kamu suka. Rasanya seperti sudah berjam-jam kita di sana, lama sekali. Saya mulai pusing, saya dan kamu terduduk di dasar lift, saya mengantuk. Saya masih memelukmu. Saya berusaha menekan tombol itu kembali... susah, saya ngantuk sekali.
8...
Saya dan kamu... terduduk berpelukan di dasar lift. Darah saya... darah kamu mengucur mewarnai dasar lift merah. Warna kesukaanmu.
7...
Saya mengantuk... kamu telah tertidur di pelukan saya. Kamu telah sepenuhnya ditinggalkan kehangatan.
6...
Saya berusaha memelukmu lebih erat dengan tenaga yang tersisa. Kehangatan saya menyelinap menyusul kehangatanmu pergi.
5...
Di kehidupan ini tak pernah ada kita. Mungkin di tempat lain. Di...
4...