Ramainya prestasi yang telah dicapai oleh atlet-atlet Indonesia membuat para orang tua jaman sekarang tidak sungkan lagi untuk mengarahkan anaknya ke berbagai macam olahraga sejak usia dini. Pada awalnya, olahraga hanya menjadi sebuah hobi yang kita lakukan untuk mengisi waktu luang dan menjaga kesehatan. Namun untuk beberapa orang, playing sports is in their blood.
Menjadi seorang atlet bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk atlet muda yang masih duduk di bangku sekolah. Dari lelah secara fisik, harus mengatur waktu untuk latihan dan belajar, sampai mengorbankan waktu luang yang seharusnya dapat dipakai untuk berpergian dengan teman-teman. Kedua hal tersebut memang bisa dilakukan secara bersamaan.Â
Banyak kompensasi yang diberikan oleh sekolah untuk murid-murid nya yang berprestasi, asalkan mereka juga tetap menjaga nilai mereka di sekolah. Tapi disisi lain, hal ini juga yang mencetuskan sebuah statement yang cukup krusial, "Sepertinya gak bisa deh, kalau sudah kuliah tetap jadi atlet yang serius. Pasti nantinya harus memilih salah satu."
Memang nyatanya sistem pendidikan dan olahraga di Indonesia tidak terintegrasi, sehingga satu dengan yang lain kurang mendukung. Wajar juga untuk para atlet yang memang ingin berprestasi akhirnya memilih untuk meninggalkan sekolahnya karena masa depan atlet terlihat jauh lebih cerah pada saat itu. Tapi apakah itu sebuah solusi dari statement krusial tersebut? Saya rasa tidak.
Lebih dari setengah hidup saya, saya habiskan di lapangan Softball. Olahraga dan pendidikan saya selalu berjalan beriringan, dan saya selalu memastikan tidak ada salah satu pun yang tertinggal. Hingga akhirnya saya diterima di Universitas Indonesia.Â
Sempat terlintas di pikiran saya bahwa saya hanya akan serius kuliah dan tidak main Softball lagi - karena sebuah gelar sarjana itu penting untuk masa depan saya. Tapi ternyata saya tidak bisa jauh dari Softball.
Tahun lalu, saya mendapat gelar Sarjana Teknik seiringan dengan saya menjadi atlet Tim Nasional Indonesia yang bermain di ajang Asian Games. Memang sulit untuk mengimbangi jadwal kuliah dan jadwal latihan yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain.Â
Memang akan lebih mudah rasanya kalau lapangan Softball ada di halaman sekolah saya atau riset tugas akhir saya bisa dilakukan on the road, but regardless I made it work. Banyak orang bilang kalau sudah menjadi atlet, gelar sarjana hanyalah sebuah "back-up" - cedera, tidak masuk tim, dan banyak hal lainnya yang bisa menghentikan karir kita sebagai seorang atlet.Â
Tapi itu bukan alasan saya. Gelar sarjana bagi saya bukan sebuah "back-up" - itu bekal penting saya di masa depan, dan menggabungkannya dengan nilai-nilai yang saya pelajari sebagai seorang atlet hanya akan membuat saya menjadi individu yang lebih baik kedepannya.
Saat ini saya masih seorang atlet Softball, dan juga bekerja di sebuah perusahaan sports management dan dikelilingi mantan-mantan atlet yang saya sebut "The Ultimate Student-Athlete." Kenapa saya sebut mereka itu? Mereka telah menjalani suatu kesempatan yang tidak saya miliki sebelumnya, yaitu menjadi seorang student-athlete di universitas di Amerika.Â
Satu-satu nya tempat dimana olahraga bisa berperan sebagai plus point dalam penerimaan universitas dan memperbesar kesempatan mendapatkan beasiswa, dimana lapangan dan gym dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki selama 5 menit.Â