Mohon tunggu...
Arief Darmawan
Arief Darmawan Mohon Tunggu... Programmer - Saya Arief Darmawan

Suami dan ayah dari seorang istri dan 2 orang anak. Bekerja di industri teknologi & informasi. Memiliki minat pada dunia investasi dan teknopreneurship. Menyukai travelling dan bersepeda. Hidup di kota sejuta harapan bernama Surabaya dan punya rumah kedua di http://www.ariefdarmawan.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kisah Tentang Bapak Tua dan Lounge Bandara

6 Mei 2015   17:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ceritanya minggu lalu saya ngetem 4 hari di Jakarta untuk jualan dari jadwal yang harusnya cuma 2 hari. Rindu bingits dah dengan bunda dan duo princess di Surabaya. Akhirnya pagi itu begitu selesai sholat subuh, langsung kemas-kemas, checkout dari Hotel dan mabur ke Cengkareng. Dengar-dengar kabar bahwa mungkin ada demo buruh di beberapa tempat membuat saya sengaja milih spare waktu lebih banyak buat nunggu daripada nanti kejebak macet Jakarta yang memang susah diprediksi. Ya seperti pepatah bilang“Lebih baik menunggu daripada berenang-renang ke tepian”

Begitu sampai bandara, melihat masih ada 3.5 jam lagi sebelum berangkat, ditambah kemungkinan pesawat delay. Daripada mati gaya saya memutuskan untuk mencari tempat untuk sekedar leyeh-leyeh sambil sekedar baca berita di Internet.

Pertama yang dituju adalah warkop starbuck, to kok ramenya ngalahin kantin STM yang dulu saya sering ngutang dan dibayar sebulan sekali setelah dapat kiriman, untuk kemudian diutang lagi beberapa menit setelahnya. Akhirnya saya berfikir untuk ke salah satu lounge yang ada. Dipilih-dipilih dari daftar kartu yang ada didompet dengan deretan lounge yang memungkinkan masuk dengan hanya Rp 1, maka Lounge milik salah satu bank plat merah yang logo-nya didominasi warna biru dan kuning menjadi favorit.

Di pintu masuk lounge ini, saya lihat ada sekelompok orang yang sepertinya sekeluarga hendak masuk ke Lounge ini. Ada seorang bapak dengan rambut purih disisir rapi, berpakaian batik kasual dan ukuran perut yang sedikit njembling daripada saya. Saya sering melihat ukuran perut seseorang laki-laki untuk sekedar membandingkan, saya merasa bahagia ketika melihat orang yang punya perut lebih ndut daripada saya, dan meringis sedih ketika melihat perut lelaki seumuran saya yang jauh lebih slim, apalagi nampak ateltis …. damn terkutuklah kalian yang suka push-up, situp, jogging dan lain-lain hehehe.

Ada juga seorang ibu, sepertinya sih istri si bapak tadi yang ribet sendiri dengan barang bawaanya. Keluarga ini membawa trolly untuk mengangkut barang-barang mereka dan peraturan standard di semua lounge adalah trolly dilarang masuk. Jadi mereka harus bongkar muat itu barang-barang yang terlihat mirip seperti orang kulakan kain di tanah abang atau mangga dua daripada mau naik pesawat. Serta beberapa pemuda-pemudi yang berbeda umur, mungkin anak-anak bapak ibu tadi, yang masing-masing asyik dengan gadget mereka masing-masing.

Si bapak ini nampak sibuk dengan hape-nya bertelpon ria, sementara sang istri bertanya ini itu kepada mbak reseptionis, “ada fasilitas apa aja di dalam ? makanannya bagaimana ? de-el-el”, saya lihat ke belakang sudah ada 2 orang lain selain saya yang mengantri, dan jam saya sudah menunjukan lebih kurang 10 menit nih keluarga ada di depan resepsionis.

Setelah tanya ini itu selesai, sang istri mengkode suaminya untuk menyelesaikan administrasinya dan diapun langsug masuk ke dalam dengan putra-putrinya yg menurut saya jauh dari kata imut. “Kartunya pak ?” tanya sang resepsionis, tapi si bapak masih sibuk dengan hape-nya sambil memberi tapak tangan ke resepsionis, “talk to my hand” mungkin begitu lebih kurang artinya hehehe … 15 menit sudah, saya mulai batuk-batuk kecil, padahal ndak makan gorengan

Mungkin sadar dengan batukan saya, sang bapak menutup telponnya dan mengeluarkan dompetnya yang lebih mirip seperti buku novel karena besar dan tebal. Dompet bermerk ini, punya sedertan tempat kartu di bagian depannya. Diambillah salah satu kartu dan diberikan kepada sang mbak. “maaf pak, kita ndak terima kartu ini, ini punya bank lounge sebelah “ sumpah deh, kalau sedang acara iklan pasti saya langsung nyelonong ke bapak2 itu sambil bilang “ada aqua ?” …. lelet dan telmi bingits

Si bapak lalu periksa lagi dompetnya, dan kali ini ngeluarin kartu yang bener, PRIORITAS cuy kartunya.

Ok Pak, ini kan 5 orang yang masuk jadi kena biaya tambahan ya sebesar Rp ….. “ si mbak menjelaskan. Sang bapak, mendadak mukanya berubah dan ngomel-ngomel ndak jelas, yang intinya ndak berkenan dicharge extra. 30 menit sudah … dan saya hampir pinjam gunting ke mbak resepsionis karena jenggot-an. Sumpah deh, saat itu saya sama sekali ndak abis pikir, dengan kartu PRIORITAS yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dengan saldo tabungan ratusan juta, membayar extra charge yang hanya seuprit untuk seorang bukanlah hal sulit.

Akhirnya setelah debat panjang, sang bapak-pun memutuskan untuk memanggil keluarganya dan cari lounge lain … capek deeehhhh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun