Mohon tunggu...
Inge Guntarti
Inge Guntarti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha kerajinan imitasi kulit

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pecinan dan Cina peranakan

14 Januari 2025   16:34 Diperbarui: 14 Januari 2025   16:34 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dulu kata Cina sering berkonotasi negatif. Saat saya kecil, ketika bermain dengan teman sebaya di lingkungan tempat tinggal kami di kota Semarang Jawa Tengah. Mereka sering melontarkan kata Cino... Cino ... bali kono nang negoromu.  Atau Cino... haram panganane babi. Dan masih banyak ungkapan lain yang lebih sering diucapkan sebagai ejekan. Entah dari mana mereka mempelajarinya. Tetapi sekarang saya berpikir mereka lebih banyak yang ikut ikutan saja. Bahkan mungkin sebenarnya mereka tidak paham benar apa artinya. Karenanya sesungguhnya sekalipun kerap mengejek, kami tetap bergaul dan bermain bersama, mulai dari petak umpet, engklek, bermain umbul, mencari buah nyamplung dari beberapa pohon nyamplung yang tumbuh di lapangan kecil di area rumah tinggal kami, sampai bermain kelereng dan layang-layang layang ( meskipun saya cewek tetapi saya suka dan mahir memainkannya). 

Saya terlahir dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa dengan latar belakang pendidikan Belanda. Tumbuh dalam budaya campuran Tionghoa- Jawa-Belanda. Rumah kami bukan lah daerah Pecinan, dimana lingkungan penuh dengan dominasi warga Tionghoa dan rumah rumah yang ber-arsitektur Tionglok, serta memiliki ragam kehidupan mulai dari  jenis usaha, tempat ibadah, bahasa dan kuliner yang serba  Tiongkok banget. Tetapi saya hidup, bergaul dan beranjak dewasa di tengah masyarakat yang beraneka warna kulit, beraneka warna agama dan dan warna kebiasaannya. Bagi saya dan sesama teman lain keturunan etnis Cina yang banyak tersebar di Indonesia, Singapura atau Malaysia lebih dikenal dan disebut sebagai  Cina peranakan. Kami memang masih memegang sebagian tradisi dan kebiasaan leluhur. Namun kami sesungguhnya punya gaya hidup tersendiri yang sudah beradaptasi dan berasimilasi dengan lingkungan dimana kami tinggal.

Meskipun demikian "ejekan" Cino tetap merupakan hal yang akrab terdengar di telingaku bahkan sampai saat ini.  Walaupun hal itu tidak lagi seintens dan sevulgar dulu. Saat ini bila masih ada yang kasak kusuk ngomong seperti itu aku cuma tertawa di dalam hati, karena bagiku diberi predikat Cina tidak lagi ku anggap sebagai ejekan. Dengan bangga aku akan berkata pada diriku sendiri: berbahagialah karena matamu sipit dan kulitmu lebih cerah sebab nenek moyangmu mewariskannya kepadamu.  Dan lihatlah Cina saat ini telah tumbuh menjadi raksasa Asia bahkan dunia.  Maju dalam banyak hal. Tak ada yang bisa membuat kamu malu , dan tak perlu malu , tetapi berbanggalah !. Walaupun sebenarnya tidak ada korelasinya sama sekali bagiku. Sebab aku adalah Indonesia 

Catatan: 

Engklek adalah permainan tradisional yang dilakukan dengan cara berjingkat-jingkat. Dimainkan dengan 2 -5 orang pemain secara bergantian.

Umbul adalah sejenis permainan anak anak yang terbuat dari karton bergambar. Biasanya dalam 1 seri berisi belasan sampai puluhan gambar yang merupakan rangkaian cerita tertentu

Buah nyamplung adalah sejenis buah dari sejenis pohon Bintangur. Daging buahnya tipis dan bisa dimakan, terutama bila sudah kering mudah mengelupas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun