Mohon tunggu...
Muhammad Sadam
Muhammad Sadam Mohon Tunggu... Konsultan -

I love competitions—the ones that are open, free, and fair for everyone, and I mean, EVERY ONE | Racists, Sexists & Homophobes... STAY AWAY from my page!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepengecutan Trump, Muslim yang Menangis, dan Muslim yang Diam

29 Januari 2017   15:38 Diperbarui: 29 Januari 2017   17:34 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam 24 jam terakhir mata saya berkaca-kaca menyaksikan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Mulai dari seorang perempuan muslim AS asal Iran yang akhirnya bertemu dengan putranya yang berusia lima tahun yang ditahan selama beberapa jam oleh aparat keamanan Bandara Dulles,di Negara Bagian Virgina (lihat disini).

Lalu ada juga gambaran emosional dari beberapa imigran muslim AS yang bersatu kembali dengan keluarga mereka setelah ditahan oleh aparat. Dan saya juga terharu melihat ribuan warga AS memadati beberapa bandara di beberapa kota besar AS melakukan protes atas Muslim Ban yang diperintahkan Donald Trump sejak kemarin. Tidak hanya itu, warga AS juga menyambut mereka dengan tangan terbuka (lihat disini).

But how did that happen in the first place?

Seperti yang sudah menjadi pembicaraan paling heboh di media-media internasional dalam 24 jam terakhir ini, Donald Trump berupaya mewujudkan salah satu janji kampanyenya yang paling kontroversial, yakni melarang imigran dari negara mayoritas muslim untuk masuk ke AS. Tindakan paling pengecut itu secara resmi dilakukan Trump melalui penandatanganan Executive Order yang judulnya saja sangat lucu, “Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry Into the Unites States”.

“Perintah Eksekutif” di bidang imigrasi tersebut menyangkut pelarangan warga muslim dan pengungsi perang yang beragama Islam dari tujuh negara di Timur Tengah, yakni Suriah, Iran, Iraq, Sudan, Somalia, Libia, dan Yaman. Pelarangan sementara ini akan berlangsung selama 120 hari sampai proses screening imigrasi warga muslim dari negara-negara tersebut disempurnakan untuk mencegah ancaman terorisme.

Kebijakan tersebut bukan hanya tidak manusiawi, pengecut, tetapi juga menurut konstitusi Amerika sendiri, adalah ilegal. Makanya Hakim Federal Amerika—Judge Ann Donnelly, yang ditunjuk oleh mantan Presiden Obama pada 2015—beberapa jam yang lalu telah memutuskan bahwa beberapa bagian dari kebijakan Trump tersebut tidak boleh diteruskan, terutama untuk para imigran muslim dan keluarga mereka yang telah berada dan ditahan di Bandara-Bandara di AS dalam beberapa jam terakhir ini.

Menggali sedikit lebih dalam, kebijakan Muslim Ban ini pada dasarnya hanya keputusan bisnis Donald Trump semata. Lihat saja hasil riset Cato Institute,yang menunjukan bahwa sejak tahun 1975 sampai 2015, tidak pernah ada serangan teror fatal dari ketujuh negara mayoritas muslim yang di-blacklist Trump itu. Bahkan dalam 15 tahun terakhir, warga asing asal ketujuh negara tersebut sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap warga AS.

Yang lebih menarik lagi, Trump tidak mempunyai kepentingan bisnis apa-apa di semua tujuh negara tersebut. Sementara itu negara mayoritas muslim lain seperti Arab Saudi (yang justru kental dengan gerakan wahabi radikal), Pakistan (jaringan kelompok Taliban), dan termasuk Indonesia (DUH!), tidak—actually, belum—di-ban oleh Trump, karena ia mempunyai banyak aset bisnis di dalam negara-negara tersebut.

Which brings me to my last point of this piece, MENGAPA PEMERINTAH MUSLIM MODERAT JUSTRU BERDIAM DIRI? Warga muslim Indonesia dan pemerintah Indonesia sendiri sering sesumbar, bangga, and all that crap, sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Namun ketika hal-hal seperti ini terjadi, sebagian besar mereka hanya bersikap apatis, bahkan pemerintahnya cenderung hanya berdiam diri.

Dimana orang-orang kampungan seperti Fadli Zon, Setya Novanto, Fahri Hamzah, atau bahkan Hary Tanoesoedibyo yang katanya “bangga” dengan TrumpMereka selama ini selalu sesumbar bisa diasosiasikan dengan “teman”, “sahabat” atau “rekan bisnis” mereka, Donald Trump. Bangga berteman dengan seorang racist, misogynist, women groper dan sexual predator seperti Trump? THAT’S JUST DISGUSTING.

Apakah mereka kini berpesta pora karena perempuan dan anak-anak tidak berdosa korban perang di Timur Tengah kini tidak dapat masuk ke AS? Apakah mereka bahagia melihat banyak warga muslim AS yang terancam tidak bisa bersatu dengan keluarga mereka karena tidak diperbolehkan masuk ke AS lagi? Apakah mereka juga menunggu giliran Indonesia, the largest Muslim-majority country in the world, mengalami hal serupa?

Hey, jika sentimen agama (hal yang selalu “digemari” oleh mayoritas warga Indonesia seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah) tidak menarik empati kalian, bagaimana dengan sentimen kemanusiaan? Apakah Hary Tanoe hanya akan tetap diam saja melihat “rekan bisnisnya” melakukan tindakan yang menciderai nilai-nilai kemanusiaan?

Orang-orang seperti beliau punya power yang bahkan sangat spesifik untuk bisa ikut mempengaruhi model kebijakan seperti ini. Demikian juga pemerintahan Jokowi dan warga muslim moderat Indonesia (beberapa di antaranya bahkan sedang bekerja membangun lapangan golf milik Trump). Dan jika semua komponen ini hanya bisa berdiam diri, maka tunggu saja giliran kalian yang akan kena nantinya.

Seriously, for months, I’ve met directly with some of Trump’s die-hard supporters, and believe me, they want to ban ALL Muslim-majority countries from the U.S., and they’ll ask their new “leader” to make that happen some day.

Lastly, apa yang dilakukan warga progressive Amerika hari ini sungguh luar biasa. Sebagian besar mereka bahkan non-muslim, dan mereka dengan tangan terbuka membantu dan menyambut imigran muslim AS dan keluarga mereka yang sudah ditahan aparat di bandara-bandara. Mereka bahkan memobilisasi masa sebagai bentuk protes, membantu pengacara-pengacara lokal untuk melakukan pendampingan hukum, hingga berkontribusi secara materil kepada lembaga-lembaga advokasi untuk imigran muslim AS.

Dan saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sentimen tersebut untuk sekadar mengingatkan bahwa, even at our darkest times like these, bukan kekuatan moral subjektif seperti sentimen agama, tetapi tangan-tangan kemanusiaan-lah yang masih bisa dan terbukti bekerja membawa dampak kebaikan bagi banyak orang. So please, don’t ever give up on humanity, especially at times when we need it the most!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun