Dalam 24 jam terakhir mata saya berkaca-kaca menyaksikan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Mulai dari seorang perempuan muslim AS asal Iran yang akhirnya bertemu dengan putranya yang berusia lima tahun yang ditahan selama beberapa jam oleh aparat keamanan Bandara Dulles,di Negara Bagian Virgina (lihat disini).
Lalu ada juga gambaran emosional dari beberapa imigran muslim AS yang bersatu kembali dengan keluarga mereka setelah ditahan oleh aparat. Dan saya juga terharu melihat ribuan warga AS memadati beberapa bandara di beberapa kota besar AS melakukan protes atas Muslim Ban yang diperintahkan Donald Trump sejak kemarin. Tidak hanya itu, warga AS juga menyambut mereka dengan tangan terbuka (lihat disini).
But how did that happen in the first place?
Seperti yang sudah menjadi pembicaraan paling heboh di media-media internasional dalam 24 jam terakhir ini, Donald Trump berupaya mewujudkan salah satu janji kampanyenya yang paling kontroversial, yakni melarang imigran dari negara mayoritas muslim untuk masuk ke AS. Tindakan paling pengecut itu secara resmi dilakukan Trump melalui penandatanganan Executive Order yang judulnya saja sangat lucu, “Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry Into the Unites States”.
“Perintah Eksekutif” di bidang imigrasi tersebut menyangkut pelarangan warga muslim dan pengungsi perang yang beragama Islam dari tujuh negara di Timur Tengah, yakni Suriah, Iran, Iraq, Sudan, Somalia, Libia, dan Yaman. Pelarangan sementara ini akan berlangsung selama 120 hari sampai proses screening imigrasi warga muslim dari negara-negara tersebut disempurnakan untuk mencegah ancaman terorisme.
Kebijakan tersebut bukan hanya tidak manusiawi, pengecut, tetapi juga menurut konstitusi Amerika sendiri, adalah ilegal. Makanya Hakim Federal Amerika—Judge Ann Donnelly, yang ditunjuk oleh mantan Presiden Obama pada 2015—beberapa jam yang lalu telah memutuskan bahwa beberapa bagian dari kebijakan Trump tersebut tidak boleh diteruskan, terutama untuk para imigran muslim dan keluarga mereka yang telah berada dan ditahan di Bandara-Bandara di AS dalam beberapa jam terakhir ini.
Menggali sedikit lebih dalam, kebijakan Muslim Ban ini pada dasarnya hanya keputusan bisnis Donald Trump semata. Lihat saja hasil riset Cato Institute,yang menunjukan bahwa sejak tahun 1975 sampai 2015, tidak pernah ada serangan teror fatal dari ketujuh negara mayoritas muslim yang di-blacklist Trump itu. Bahkan dalam 15 tahun terakhir, warga asing asal ketujuh negara tersebut sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap warga AS.
Yang lebih menarik lagi, Trump tidak mempunyai kepentingan bisnis apa-apa di semua tujuh negara tersebut. Sementara itu negara mayoritas muslim lain seperti Arab Saudi (yang justru kental dengan gerakan wahabi radikal), Pakistan (jaringan kelompok Taliban), dan termasuk Indonesia (DUH!), tidak—actually, belum—di-ban oleh Trump, karena ia mempunyai banyak aset bisnis di dalam negara-negara tersebut.
Which brings me to my last point of this piece, MENGAPA PEMERINTAH MUSLIM MODERAT JUSTRU BERDIAM DIRI? Warga muslim Indonesia dan pemerintah Indonesia sendiri sering sesumbar, bangga, and all that crap, sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Namun ketika hal-hal seperti ini terjadi, sebagian besar mereka hanya bersikap apatis, bahkan pemerintahnya cenderung hanya berdiam diri.
Dimana orang-orang kampungan seperti Fadli Zon, Setya Novanto, Fahri Hamzah, atau bahkan Hary Tanoesoedibyo yang katanya “bangga” dengan Trump? Mereka selama ini selalu sesumbar bisa diasosiasikan dengan “teman”, “sahabat” atau “rekan bisnis” mereka, Donald Trump. Bangga berteman dengan seorang racist, misogynist, women groper dan sexual predator seperti Trump? THAT’S JUST DISGUSTING.
Apakah mereka kini berpesta pora karena perempuan dan anak-anak tidak berdosa korban perang di Timur Tengah kini tidak dapat masuk ke AS? Apakah mereka bahagia melihat banyak warga muslim AS yang terancam tidak bisa bersatu dengan keluarga mereka karena tidak diperbolehkan masuk ke AS lagi? Apakah mereka juga menunggu giliran Indonesia, the largest Muslim-majority country in the world, mengalami hal serupa?