Agama, hal yang sebenarnya bertujuan untuk menjadi pedoman hidup, tapi banyak disalahartikan, bahkan disalahgunakan oleh berbagai macam pihak dan oknum tidak bertanggung jawab. Oknum yang hampir dapat dipastikan hanya memikirkan "perutnya" sendiri.
Sebagai pengantar, penulis tergerak untuk menuliskan masalah ini segera setelah membaca salah satu artikel di portalkbr.com berjudul "Sidang Gereja Kranggan: PTUN Bandung Kabulkan Gugatan Forum Umat Islam" (Nugraha, 2014). Inti artikel tersebut sudah dijelaskan melalui judulnya, tapi yang menarik adalah masih adanya kejadian seperti ini, kejadian yang menunjukkan ketidakadilan yang terjadi hanya karena adanya (asumsi penulis setelah membaca artikel) ketidaksetujuan dari suatu ormas yang mengatasnamakan salah satu nama agama.
Memang, masyarakat sekarang sudah cukup banyak yang lebih pintar dalam menanggapi masalah berbau agama, tapi penulis juga tidak memungkiri bahwa masih ada juga beberapa "elemen" dari masyarakat yang masih belum dapat membuka pikirannya untuk masalah ini. Penulis sama sekali tidak mempunyai ketidaksukaan, apalagi kebencian, pada agama-agama tertentu. Penulis merasa bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan hal yang baik bagi para pemeluknya. Bagi penulis sendiri, agama tidak lebih dari tata cara, budaya, adat istiadat, yang diturunkan generasi ke generasi, dengan tujuan utama memuliakan Sang Pencipta.
Oleh karena itu, kesan yang muncul dari kejadian-kejadian seperti ini adalah penyalahgunaan agama, bahkan menimbulkan kesan bahwa mereka menyembah agamanya, bukan menyembah Sang Pencipta. Agama dan rajin-tidaknya beribadah tidak menentukan kuat-tidaknya iman, bahkan tidak menentukan baik-buruknya seseorang. Satu-satunya hal yang dapat menentukan hal tersebut hanyalah sikap dan perilaku. Percuma apabila seseorang rajin beribadah, tapi tidak menunjukkan "imannya" dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.
Ya, penulis memahami bahwa ormas-ormas macam ini umumnya "digerakkan" oleh oknum-oknum politik yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Pertanyaannya, mengapa bisa tetap bertahan, dan bagaimana cara kita sebagai masyarakat biasa untuk meminimalisir "kebodohan-kebodohan" seperti ini? Bagaikan borok yang tidak kunjung sembuh, fenomena ini sudah terlalu lama terjadi dan bertahan di negeri ini. Fenomena yang membuat "gatal" banyak orang yang "sudah lebih maju".
Tolong jangan salah menangkap maksud penulis, penulis hanya ingin menyampaikan bahwa masalah yang seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama seseorang. Masalah seperti ini disebabkan oleh bobroknya mental dari sekelompok oknum yang tidak suka apabila Indonesia bersatu. Sekelompok oknum yang hanya memikirkan keuntungan golongannya. Sekelompok oknum yang terlalu "bodoh" untuk melihat keindahan dari persatuan dan toleransi antar umat beragama.
Mungkin pembaca sudah bosan karena topik ini termasuk topik yang biasa dibahas dalam media atau diskusi sehari-hari. Tapi penulis merasa, cukup banyak masyarakat yang masih lebih memilih untuk membahas topik ini di media sosial "pribadi" semacam twitter, path, facebook, atau yang sejenisnya. Tulisan ini pun tidak hanya bertujuan untuk mengingatkan para pembaca, tapi juga mengingatkan penulis sendiri, tentang masih eksisnya fenomena seperti ini. Diharapkan dengan adanya tulisan ini, kita semua dapat merefleksikan kembali apa yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi bagi negara ini, khususnya dalam menyikapi fenomena yang berkaitan dengan hal sensitif seperti agama, seperti kasus ini.
"Kerusakan akhlak jelas bukan soal politik. Negara ini rusak karena mencampurkan agama dan politik." -Ahok (Basuki Tjahaja Purnama)-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H