Mohon tunggu...
Adam Kurniadi Lukman
Adam Kurniadi Lukman Mohon Tunggu... lainnya -

Mencoba menyuarakan PENDAPAT dan OPINI melalui tulisan. An ordinary guy who like to see any phenomenon and always try to analyze through multi-perspective way.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Salah Kaprah...

24 Januari 2017   11:20 Diperbarui: 24 Januari 2017   11:29 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lagi, kita dikejutkan oleh kabar duka cita atas korban budaya perploncoan. Semakin banyak orang yang bertanya-tanya, mengkritisi, bahkan mengutuk budaya ini. Hal ini pula yang pada akhirnya membuat banyak institusi pendidikan menjadi sangat (bahkan kelewat) hati-hati dan mengubah sistem dan atau budaya penyambutan peserta didik baru di institusi mereka. 

Apabila kita mencoba menarik kembali ke belakang, dapat diasumsikan bahwa asal muasal budaya "penyambutan anggota baru" ini diadopsi dari cara yang digunakan organisasi seperti pecinta alam dan resimen mahasiswa, yang dianggap efektif dalam membentuk mental generasi muda untuk menjadi penerus bangsa. 

Apabila kita tarik lebih jauh lagi, cara kaderisasi yang digunakan pecinta alam dan Resimen Mahasiswa ini tentu saja datang dari ahlinya, yakni para tentara. Sebagai salah seorang alumni dari Menwa yang juga alumni pecinta alam ketika SMA, saya juga merasakan pendidikan yang mungkin dapat dikatakan cukup keras bagi orang awam. Saya juga dapat mengatakan bahwa saya adalah salah seorang yang meng-amin-i pendidikan karakter dan mental melalui cara ini. AKAN TETAPI, perlu diingat bahwa yang saya dukung adalah "pendidikan", bukan "perploncoan". 

Apa bedanya? Sederhana. 

  • Pendidikan. Semua hal ada maksud dan tujuannya, dan setiap hal yang diberikan pendidik kepada peserta didik ada SOP-nya, bahkan untuk masalah hukuman. Tidak ada, dan tidak boleh ada yang namanya sembarangan menghukum. Ada tata cara, kondisi, prasyarat, dan syarat yang harus dipenuhi sebelum seorang pendidik dapat memberikan hukuman kepada peserta didik. Sejauh ini yang masih menggunakan pola ini adalah (tentu saja) TNI POLRI. Untuk Menwa, jujur saja saya tidak tahu keadaan sekarang, karena terakhir kali saya berada di dalamnya, beberapa satuan di luar satuan saya sudah mulai bergeser dari pendidikan ke penyiksaan; 
  • Perploncoan a.k.a Penyiksaan. Semua yang dilakukan hampir dapat dipastikan tidak ada SOP-nya, dan hanya didasari oleh "kebiasaan", bahkan ada modus balas dendam. Tidak perlu dikatakan pun sudah jelas bahwa ini adalah pola yang digunakan oleh hampir semua institusi, atau paling tidak organisasi di Indonesia. Miris.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pola perploncoan di Indonesia ini terjadi karena kurangnya pemahaman akan pola didik yang diterima, yang pada akhirnya membawa masyarakat menuju pergeseran makna. Kurang paham, tapi tidak mau memahami lebih dalam. Ikut-ikutan. Jadinya ya salah kaprah. 

Ajaibnya, salah kaprah ini bukan hanya terjadi di kalangan "pelaku" perploncoan, tapi juga terjadi di kalangan yang mengecam perploncoan. Banyak yang tidak mengetahui (dan tidak mencari tahu) tentang asal muasal perploncoan dan berakhir menggeneralisir pola didik yang terjadi. Keras sedikit, dibilang penyiksaan. Beda! Ingat, pendidikan semuanya terstruktur rapi dan ada standardnya. Bukan didasarkan pada "kebiasaan". 

Sebaliknya, begitu pula untuk kalian yang menyayangkan mulai hilangnya "kebiasaan" yang berakibat pada lembeknya mental penerus bangsa jaman sekarang. Makanya kalau mau mengadopsi sesuatu, diolah dulu, jangan langsung ditelan. Pola pendidikan tentara memang keras, tapi tetap didasari SOP yang kuat. Ga sembarangan!

Win-win solution-nya apa dong? Lupakan power dan superioritas, fokus ke tanggungjawab. Plonco terjadi karena fokusnya ke superioritas, bukan ke tanggungjawab untuk mendidik dan mengembangkan calon penerus. Begitu juga di masalah yang lain, kalau kita dapat informasi baru yang menarik (bahkan mungkin booming), jangan sekedar ikut-ikutan. Cari tahu faktanya dan olah secara mendalam. Udah cukup lah budaya salah kaprahnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun