Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis soal berubahnya Iwan Fals dari sosok yang dulunya vocal dan kemudian saat ini menjadi anak manis, tepatnya orang tua manis yang selalu membenarkan junjungannya.
Di tahun 1980an hingga awal 1990an, nama Iwan Fals dikenal sebagai seorang musisi vocal yang kerap mengkritik penguasa Orde baru lewat lagu-lagunya. Jauh sebelum kemarin ramai-ramai netizen pendukung ahok meributkan kata "pribumi" misalnya, Iwan telah lama meneriakkan kata tersebut lewat lagu "Ujung Aspal Pondok Gede". Â Ia menyuarakan suara warga (Betawi) Pondok Gede yang disebutnya sebagai pribumi yang mesti tergusur karena pembangunan. Â
Lewat "Bongkar", Iwan bahkan bersuara lebih lantang. Dia bilang "Kalau cinta sudah di buang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang di perbudak jabatan. Â O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar, O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar". Dengan gagah dia menyindir penguasa Orde Baru saat itu sebagai setan yang berdiri mengangkang. Begini katanya "Sabar, sabar, sabar dan tunggu. Itu jawaban yang kami terima. Ternyata kita harus ke jalan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang"
Dengan lirik-lirik lagunya yang lantang tersebut Iwan menjadi idola anak muda saat itu. Poster Iwan dengan rambutnya yang gondrong beredar dimana-mana. Lagu-lagunya pun diputar di radio-radio. Kasetnya laris manis, baik asli maupun bajakan.
Namun kini, seiring dengan semakin memutih dan menipis rambutnya, Iwan bukan lagi penyanyi yang kritis. Ia sekarang ibarat kucing ompong yang keasyikan dielus majikan sehingga tidak lagi bisa mengeong. Iwan sekarang sangat patuh kepada majikannya dan tidak bisa lagi bersikap kritis.
Dalam kasus penutupan Alexis oleh Gubernur Anies Baswedan misalnya. Alih-alih mendukung langkah penutupan yang dilakukan Anies, Iwan justru bersikap nyinyir dengan mengatakan "Alexis ditutup & tempat2 hiburan sejenis bakal menyusul...hm moga2 aja gak berceceran di-jalan2".
Komentar Iwan di twitter tentu saja aneh. Tapi bagi mereka yang mengikuti kiprah Iwan beberapa tahun terakhir ini, khususnya sejak pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI dan diperkuat saat Pilkada DKI 2017 dimana dia menjadi diehard Ahok, pasti melihat perubahan sikap Iwan yang tidak bisa lagi bisa bersikap obyektif. Entah karena kedekatannya dengan Jokowi dan ahok, maka apa  yang dilakukan keduanya selalu benar, dan apapun yang dilakukan "lawan" keduanya adalah keliru.
Bagi Iwan hal tersebut mungkin bukan masalah karena pasti masih banyak penggemarnya. Mungkin Iwan ingin hidup tenang di hari tua bersama teman dan penguasa tanpa diganggu hal lain. Soal idealisme sudah lama dikuburkannya bersama matinya pribumi di Pondok Gede.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H