Mohon tunggu...
H. ADAMI CHAZAWI
H. ADAMI CHAZAWI Mohon Tunggu... -

pengajar hukum pidana FH Universitas Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku

12 Maret 2010   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul:Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat

Penulis: Drs. H. Adami Chazawi, S.H.

Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Tebal: x + 233 halaman

Tahun: 2010

ISBN: 978-979-007-320-3

Penulis menulis buku ini terinspirasi dari dua kejadian yang menggelitik hati dan perasaan. Pertama, tragedi yang dialami Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto (2008). Dua manusia desa yang lugu dan polos di Jombang yang tidak bersalah, dihukum 17 dan 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang.Kedua,beberapa kaliMA mengeluarkan putusan yang membenarkan permintaanPK Jaksa. Suatu putusan yang melanggar prinsip dasar PK yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan terpidana.. Dua-duanya merupakan tragedi dalam penegakan hukum.

Oleh sebab itu, buku ini dapat dianggap sebagai pengungkapan perasaan hati dan sikap penulisnya yang menolak pada praktik hukum penyimpangan terhadap norma penegakan hukum PK Pidana. Juga sebagai bentuk penegasan bahwa PK semata- mata diperuntukkan bagi upaya terpidana untuk melawan kezaliman negara dalam putusan peradilan sesat.

Konsepsi hukum PK Pidana, berpijak pada landasan filosofi, bahwanegaratelah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Putusan mempidana yang telanjur salah, dapat dianggap suatu bentuk kezaliman negara pada penduduknya.Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah.Negara berdosa dan bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah terlanjur dirampas tanpa hak tersebut. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK,bukan kepada negara.

Karena itu dapat dianggap, bahwa PK Pidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara pada penduduk. Merupakan upaya pengembalian hak-hak dan keadilan pada terpidana yang terlanjur dirampas negara tanpa hak.Bentuk pertanggungjawaban dan wujud nyata penebusan dosa negara pada terpidana atas kesalahan yang telah menjatuhkan pidana pada penduduknya yang terbukti kemudian tidak bersalah.

Landasan filosifi tersebut tertuang dalam norma dasar PK - Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Secara tegas merumuskan bahwa, “terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung”.

Dari sudut sejarah hukum PK, dapat dilihat dalam Reglement op de Srtrafvordering (Stb No. 40 jo 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 maupun PERMA No. 1 Tahun 1980, sangat jelas bahwa sejak semula pembentuk UU menghendaki bahwa PK Pidana hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana, dan bukan bagi kepentingan negara. Jiwa dan semangat dari ketentuan mengenai PK tersebut dipertahankan dan menjadi jiwa dan semangat hukum PK dalam Bab XVIII - Pasal 263 s.d 269 KUHAP.

Namun akhir-akhir ini, praktik peradilan MA telah tidak lagi konsistenterhadap hukum PK pidana dalam KUHAP, dimana tindakan coba-coba Jaksa mengajukan PK terhadap pembebasan Muchtar Pakpahan (putusan No. 55K/Pid/1996) yang jelas-jelas tidak memiliki hak untuk itu, mendapat justifikasi dari MA. Ketika itu - dimasarezim Orde Baru (otoriter), masyarakat berpikir - masih dapat memaklumi. Namun kemudian setelah rezim otoriter tumbang, ternyata MA masih juga menggunakan putusan yang salah tersebut sebagai rujukan, seperti ternyata pada putusan RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001), Soetyawati (No. 15PK/Pid/2006), dr Eddy Linus dkk (No. 54 PK/Pid/2006), Pollycarpus (No. 109PK/Pid/2007), sampai perkara Joko S. Tjandra (No. 12PK/Pid.Sus/2009).Meskipun nuansa ketakutan pada rezim orde lama sudah ditinggalkan, namun terkesan berubah sifat ketakutannya ke arah takut dicap tidak anti korupsi.

Keadaan ini yang mendorong penulis menulis buku ini. Apabila negara merasa tidak puas terhadap putusan bebas perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang diperkirakan masih ada kerugian keuangan negara, maka gugatan perdata perbuatan - melawan hukum atau wanprestasi (bergantung sifat perkaranya) adalah satu-satunya solusi yang terbaik dan terhormat. Kewibawaan negara tetap terpelihara dan kewibawaan hukum tetap ditegakkan. Citra dan kewibawaan lembaga penegak hukum tidak tergerus.

Secara normatif, substansi buku ini adalah menguarai mengenai lembaga PK pidana di dalam KUHAP. Mengurai satu-persatu unsur-unsur norma hukum PK Pidana Pasal 263 s.d Pasal 268, yang disisipkan contoh konkret mengenai kasus-kasus berdasarkan pengmatan dan pengalaman memberikan pelayanan hukum. Karena merupakan perpaduan kajian dari sudut teoritik dan emperik, diharapkan isi bukumenarik, baik bagi teoritisi maupun praktisi hukum.

Pada bab V dan VI dibicarakan tentang peradilan sesat dengan berbagai contoh konkret kasus peradilan sesat (2008) di Pengadilan Negeri Jombang. Tragedisalah tangkap dan salah mempidana Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto. Studi kasus ini diangkat dalam rangka “menunjang” pandangan penulis tentang “fungsi dan tujuan hukum PK pidana” yang sebenarnya.Untuk membuktikan bahwa dalam era demokrasi yang lebih baik, dandengan hukum acara yang modern (KUHAP), pemeriksaan dengan cara-cara menyiksa dan menakut-nakuti dan intimidasi dalam rangka merekayasa kasus masih terjadi di dunia peradilan kita.Namun yang lebih penting, dengan mengangkat studi kasus ini,dapat menggugah hati kita bahwa dalam hal dan keadaan seperti inilah sesungguhnya kegunaan dan manfaat hukum PK Pidana yang sebenarnya. Bukan seperti yang dicontohkan oleh putusan MA yang membenarkan dan menerima PK oleh jaksa. Putusan yang semacam itu dapat dikategorikan sebagai putusan yang memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata sebagaimana maksud Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP.

Dalam buku ini dapat diketahui pandangan penulis mengenai beberapa persoalan yang mendasar al berikut ini:

1.Bahwa MA yang menerima dan membenarkan jaksa mengajukan PK bukan untuk mencari keadilan, hak jaksa mencari keadilan hanya dibenarkan pada proses penuntutan di sidang PN, PT dan kasasi. (h 11-13 & 44).

2.Bahwa pihak-pihak yang dimaksud Pasal 23 (1) UU No. 4/2004 (Ps 24 ay 1 UU 48/2009) dlm perkara pidana tdk mungkin jaksa, karena Pasal 23 lex generalis tidak mungkin diterapkan sendiri tanpa menghubungkannya dengan Pasal 263 (1) KUHAP sebagai lex specialis (h 33-36). .

3.Bahwa MA yg menerima PK jaksa bukan pekerjaan menggali untuk menemukan hukum, melainkan membuat norma baru yang menjadi kewenangan pembentuk UU, MA melakukan interpretatio est perversio(h 36-43).

4.Bahwa alasan MA menemukan hukum dengan menggunakan penafsiran ekstensif bahwa jaksa adalah pihak dalam pengertian Pasal 23 (1) UU No. 4/2004 (Ps 24 (1) UU 48/2009) dengan alasan norma Pasal 263 tidak jelas, bukan menggunakan penafsiran ekstensif, melainkan dengan menggunakan logika terbalik dan melakukan interpretatio est perversio (h 42).

5.Mengenai dampak putusan MA yg membenarkan & menerima PK Jaksa.(h. 45-46)

6.Dengan membenarkan dan menerima PK jaksa, sama artinya telah menciptakan suatu keadaan ketidaktenangan dan ketentraman jiwa serta membuat rasa ketakutan dan was-was selama hidup bagi orang yang sudah diputus bebas,merupakan pelanggaran hak azasi manusia (h. 46).

 

Buku ini telah diluncurkan kemaren Rabu,10-03-2010 di Hotel Nikko Jakarta, diselenggarakan oleh Yayasan "INDONESIA AGAINST INJUSTICE" (IAI). Dalam acara tersbut Prof. DR. MULADI, SH., memberikan tanggapan tertulis. Berikut tanggapan beliau atas buku tersebut.


 

TANGGAPAN TERHADAP BUKU Drs. H. ADAMI CHAZAWI, S.H “LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERKARA PIDANA”

 

PROF. DR. MULADI, S.H.

 

Buku Sdr. H. Adami Chazawi di atas pada dasarnya memuat dua hal penting, yang oleh penulis dikategorikan sebagai tragedi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Dua hal tersebut adalah sebagai berikut.

 

a.Adanya peradilan sesat (miscarriage of justice) yang menyangkut pemidanaan orang yang tidak bersalah;

 

b.PK oleh Jaksa yang sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legislated envionment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana.

 

Saya sangat setuju substansi buku ini ditulis dan disebarluaskan, karena menurut Penulis merupakan kritik terhadap dilanggarnya prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intelectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan melakukan pembenaran (justification).

 

Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 – 76) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (Orde Baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan “due processs of law” dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya yang didasarkan atas atmosfir colonial seperti HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement (S.1941-44). Sistem Inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutnya“gematige inquisitoir”, yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. Namun disana sini masih terjadi praktik-praktik pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain.

 

Di era demokratisasi yang dicanangkan sejak tahun 1998 melalui gerakan reformasi, nantinya tidak boleh lagi ada peluang untuk terjadinya “miscarriage of justice”,“malpractice of law”dalam bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara pidana, karena apa yang dinamakan “supremasi hukum”, keberadaan hukum yang aspiratif dan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta jaminan terhadap promosi dan perlindungan hak-hak azasi manusia (HAM) merupakan empat dari sekian banyak nilai-nilai dasar (core values) demokrasi.

 

Di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat apa yang dinamakan “area of no enforcement”, dimana kekuasaan Negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Dalam penegakan hukum pidana harus selalu dijaga kesetaraan antara hak-hak Negara untuk memberantas kejahatan (crime control) yang harus efisien dan efektif, dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi (due process of law). Di dalam “area of no enforcement” itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum.

 

Prinsip demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prasyaratuntuk bebas hidup bermartabat (freedom to live in dignity), disamping bebas dari kemiskinan (freedom from want) dan bebas dari rasa takut (fredom from fear). Kehidupan hukum baik dalam ranah pembuatan hukum(law making proces), penegakan hukum (law enforcement) dan pembangunan kesadaran hukum (law awareness)tidak boleh merefleksikanhukum sebagai perintah penguasa (the command of the sovereign), tetapi harus peka terhadap masalah-masalah keadilan dan keadilan sendiri mengandung makna berupa sikap tidak memihak (impartiality) kepada siapa saja termasuk kepada penguasa yang memperoleh kekuasaannya dari rakyat. Pernyataan bahwa “law is simply politics” tidak dapatdisangkal, tetapi politik dalam arti demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat.

 

Dalam sistem peradilan pidana terdapat dua nilai yang harus ditegakkan secara simultan yaitu pertama, “professed values”yang diproklamasikan dengan jelas dalam perundng-undangan, dan kedua, “underlying values” yang sekalipun tidak diproklamasikan tetapi turut mengendalikan systemperadilan pidana yakni nilai-nilai “good governance” seperti supremasi hukum, effisiensi, transparansi, effektivitas, poprorsionalitas, “fair play” dan sebagainya.

 

Dalam rangka kerangka teoritik dan konseptual di atas buku Sdr. Drs. H. Adami Chazawi, S.H dengan judul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana” menjadi relevan dan penting untuk dibaca dan saya yakin buku ini akan memiliki signifikansi baik teoritis maupun praktis bagi yang berkepentingan.

 

Jakarta, 8 Maret 2010

 

ttd

 

PROF. DR. MULADI, S.H.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun