Mohon tunggu...
H. ADAMI CHAZAWI
H. ADAMI CHAZAWI Mohon Tunggu... -

pengajar hukum pidana FH Universitas Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku

26 Februari 2010   10:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:43 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul    :  Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat

Penulis  : Drs. H. Adami Chazawi, S.H.

Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Tebal    : x + 233 halaman

Tahun   : 2010

ISBN    : 978-979-007-320-3

Penulis, adalah pengajar  hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang berlatar belakang profesi pelayanan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu di Biro Konsultasi & Bantuan Hukum (BKBH)  Universitas Brawijaya.

Dapat dianggap bahwa buku ini sebagai pengungkapan perasaan hati dan sikap penulisnya yang menolak pada praktik hukum penyimpangan terhadap norma penegakan hukum PK Pidana. Juga sebagai bentuk penegasan bahwa PK semata- mata diperuntukkan bagi upaya terpidana untuk melawan kezaliman negara dalam putusan peradilan sesat.

Konsepsi hukum PK Pidana, berpijak pada landasan filosofi, bahwa  negara  telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Putusan mempidana yang telanjur salah, dapat dianggap suatu bentuk kezaliman negara pada penduduknya.  Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah.  Negara berdosa dan bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah terlanjur dirampas tanpa hak tersebut. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK,  bukan kepada negara.

Karena itu dapat dianggap, bahwa PK Pidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara pada penduduk. Merupakan upaya pengembalian hak-hak dan keadilan pada terpidana yang terlanjur dirampas negara tanpa hak.  Bentuk pertanggungjawaban dan wujud nyata penebusan dosa negara pada terpidana atas kesalahan yang telah menjatuhkan pidana pada penduduknya yang terbukti kemudian tidak bersalah.

Landasan filosifi tersebut tertuang dalam norma dasar PK - Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Secara tegas merumuskan bahwa, "terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung".

Dari sudut sejarah hukum PK, dapat dilihat dalam Reglement op de Srtrafvordering (Stb No. 40 jo 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 maupun PERMA No. 1 Tahun 1980, sangat jelas bahwa sejak semula pembentuk UU menghendaki bahwa PK Pidana hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana, dan bukan bagi kepentingan negara. Jiwa dan semangat dari ketentuan mengenai PK tersebut dipertahankan dan menjadi jiwa dan semangat hukum PK dalam Bab XVIII - Pasal 263 s.d 269 KUHAP.

Namun akhir-akhir ini, praktik peradilan MA telah tidak lagi konsisten  terhadap hukum PK pidana dalam KUHAP, dimana tindakan coba-coba Jaksa mengajukan PK terhadap pembebasan Muchtar Pakpahan (putusan No. 55K/Pid/2006) yang jelas-jelas tidak memiliki hak untuk itu, mendapat justifikasi dari MA. Ketika itu - dimasa  rezim Orde Baru (otoriter), masyarakat berpikir - masih dapat memaklumi. Namun kemudian setelah rezim otoriter tumbang, ternyata MA masih juga menggunakan putusan yang salah tersebut sebagai rujukan, seperti ternyata pada putusan RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001), Soetyawati (No. 15PK/Pid/2006), dr Eddy Linus dkk (No. 54 PK/Pid/2006), Pollycarpus (No. 109PK/Pid/2007), sampai perkara Joko S. Tjandra (No. 12PK/Pid.Sus/2009).  Meskipun nuansa ketakutan pada rezim orde lama sudah ditinggalkan, namun terkesan berubah sifat ketakutannya ke arah takut dicap tidak anti korupsi.

Keadaan ini nampaknya, yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis memberikan solusi melalui gugatan perdata. Apabila negara merasa tidak puas terhadap putusan bebas perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, gugatan perdata perbuatan - melawan hukum atau wanprestasi (bergantung sifat perkaranya) adalah satu-satunya solusi yang terbaik dan terhormat. Kewibawaan negara tetap terpelihara dan kewibawaan hukum tetap ditegakkan. Citra dan kewibawaan lembaga penegak hukum tidak tergerus.

Selain itu, buku ini juga mengurai tentang norma-norma hukum PK Pidana  (Pasal 263-269 KUHAP) secara lengkap. Dengan latar belakang pengajar hukum dan praktisi hukum, penulis mengurai satu-persatu unsur-unsur norma hukum PK Pidana, dengan memberikan contoh konkret berdasarkan pengalamannya memberikan pelayanan hukum. Karena merupakan perpaduan kajian dari sudut teoritik dan emperik, maka isi buku  sangat menarik, baik bagi teoritisi maupun praktisi hukum.

Lebih menarik lagi dengan diurainya tentang peradilan sesat dengan berbagai contoh yang pernah terjadi di Indonesia sejak kasus salah hukum Sengkon dan Karta (1977). Terutama diangkatnya satu contoh kasus peradilan sesat yang belum lama (2008) di Pengadilan Negeri Jombang. Tragedi  salah tangkap dan salah mempidana Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto. Studi kasus ini diangkat dalam rangka untuk membuktikan perihal "fungsi dan tujuan hukum PK pidana" yang sebenarnya.  Untuk membuktikan bahwa dalam era demokrasi yang lebih baik, dan  dengan hukum acara yang modern (KUHAP), pemeriksaan dengan cara-cara menyiksa dan menakut-nakuti dan intimidasi masih terjadi di dunia peradilan kita.  Namun yang lebih penting, nampaknya penulis ingin membuktikan bahwa dari  contoh konkret inilah sesungguhnya kegunaan dan manfaat hukum PK Pidana yang sebenarnya. Bukan seperti yang dicontohkan oleh putusan MA yang membenarkan dan menerima PK oleh jaksa. Putusan yang semacam itu dapat dikategorikan sebagai putusan yang memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata sebagaimana maksud Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun