Mohon tunggu...
Adam BintangPriyatna
Adam BintangPriyatna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatulah Jakarta

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bagaimana Perilaku Konsumtif Remaja Memicu Krisis Sampah Pakaian dan Budaya Sekali Pakai

23 Desember 2024   19:02 Diperbarui: 23 Desember 2024   19:02 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Perilaku konsumtif remaja telah menjadi perhatian besar di era modern ini, terutama dalam konteks industri fashion. Salah satu dampak yang semakin memprihatinkan adalah meningkatnya sampah pakaian akibat budaya sekali pakai. Tren ini tidak hanya berdampak pada keuangan pribadi, tetapi juga menciptakan krisis lingkungan yang serius.

Fast Fashion dan Budaya Sekali Pakai
Dalam beberapa tahun terakhir, industri fast fashion menjadi bagian besar dari gaya hidup remaja. Merek-merek seperti Shein, H&M, dan Zara memproduksi pakaian dengan harga murah dan model yang selalu mengikuti tren. Akibatnya, banyak remaja membeli pakaian hanya untuk dipakai sekali, misalnya untuk acara tertentu atau sekadar berfoto untuk media sosial.
Data dari $ Ellen MacArthur Foundation$  menyebutkan bahwa sejak tahun 2000, produksi pakaian global meningkat lebih dari dua kali lipat, tetapi rata-rata pakaian yang dimiliki seseorang kini hanya digunakan 7--10 kali sebelum akhirnya dibuang. Di Indonesia, fenomena ini semakin terlihat dengan menjamurnya tren haul video dan outfit challenge di TikTok, yang mendorong konsumen muda untuk terus membeli pakaian baru.

Lonjakan Sampah Pakaian
Sampah pakaian menjadi masalah besar yang sulit diabaikan. Menurut data dari $ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)$ , Indonesia menghasilkan lebih dari 2,5 juta ton limbah tekstil setiap tahun. Sebagian besar limbah ini berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) yang sudah penuh, seperti TPA Bantar Gebang. Ironisnya, bahan pakaian dari industri fast fashion sebagian besar terbuat dari serat sintetis seperti poliester yang membutuhkan ratusan tahun untuk terurai. Hal ini memperburuk masalah  lingkungan, termasuk pencemaran tanah dan air.

Tekanan Sosial dan FOMO
alah satu penyebab budaya sekali pakai ini adalah tekanan sosial di kalangan remaja. Mereka sering merasa perlu untuk tampil dengan pakaian berbeda setiap kali berfoto atau hadir di acara tertentu. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) membuat mereka ingin terus mengikuti tren terbaru, bahkan jika itu berarti membeli pakaian baru secara terus-menerus.
Media sosial juga menjadi katalis utama. Postingan para influencer dengan koleksi pakaian yang tak ada habisnya menciptakan standar yang sulit dicapai oleh banyak remaja. Akibatnya, mereka membeli pakaian yang sebenarnya tidak diperlukan hanya untuk "mengikuti" gaya hidup yang ditampilkan di dunia maya.

Solusi untuk Mengatasi Krisis

Perilaku konsumtif remaja ini tidak hanya perlu dikritisi, tetapi juga dicarikan solusinya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
1. Mendorong Tren Thrifting dan Upcycling
Gerakan thrifting atau membeli pakaian bekas yang masih layak pakai dapat menjadi solusi alternatif. Selain hemat, langkah ini juga membantu mengurangi sampah pakaian. Selain itu, praktik upcycling---mengubah pakaian lama menjadi barang baru yang fungsional---juga bisa menjadi tren baru yang ramah lingkungan.
2. Edukasi tentang Dampak Lingkungan
Penting bagi remaja untuk memahami dampak konsumsi berlebihan terhadap lingkungan. Kampanye melalui sekolah, media sosial, atau komunitas dapat membantu meningkatkan kesadaran mereka tentang pentingnya mengelola pakaian secara bertanggung jawab.
3. Membatasi Produksi dan Konsumsi Fast Fashion
Pemerintah dan industri perlu bekerja sama untuk mengurangi produksi fast fashion. Insentif bagi merek yang mendukung keberlanjutan atau kebijakan pajak pada produk yang tidak ramah lingkungan bisa menjadi langkah awal.
4. Meningkatkan Kesadaran Konsumen
Remaja perlu didorong untuk memprioritaskan kualitas dibandingkan kuantitas. Memilih pakaian yang tahan lama dan bisa digunakan dalam berbagai kesempatan akan mengurangi kebutuhan membeli pakaian baru secara terus-menerus.

Kesimpulan
Budaya sekali pakai yang semakin marak di kalangan remaja menunjukkan bahwa perilaku konsumtif telah mencapai titik yang memprihatinkan. Krisis sampah pakaian ini tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga ancaman serius bagi lingkungan. Kini saatnya bagi kita semua---remaja, orang tua, dan masyarakat---untuk mengambil tindakan nyata. Memilih untuk lebih bijak dalam berbelanja dan mendukung keberlanjutan bukan hanya sekadar tanggung jawab, tetapi juga investasi untuk masa depan yang lebih baik.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun