Di atas mobil Datsun jurusan Sicincin - Padang Panjang itu hanya kami isinya. Aku, Ali Mutamar, Syamsuar Kamal, tiga Abak kami dan sopir serta seorang kernetnya.
Sopir mobil itu berhasil melakukan negosiasi dengan Abak kami untuk mengantarkan ke Padang Magek. Waktu itu hari Rabu tahun 1988, mungkin karena kurang atau lengang muatannya, sehingga mereka mau mengangkut kami ke Kabupaten Tanah Datar itu.
Mobil Datsun yang kepalanya agak panjang itu meliuk-liuk mendaki Silaing. Tapi karena sudah jalan kebiasaannya, pendagian yang tinggi itu tak jadi halangan baginya. Sehingga dari Sicincin sampai ke Tanah Datar jalannya mulus saja.
Barulah saat sampai di Cubadak, lantaran mobil belok kanan sehabis Pasar Simabur, mungkin jalan pintas dan cepat sampai mobil ini mengalami patah per. Lama berhenti di jalan yang kiri kanan jalan itu hanya sawah dan ladang cengkeh yang kami lihat.
Dan menjelang sore, kami tiba di Surau Tabiang. Tak ada sopir betanya selama di jalan. Sepertinya, Padang Magek sudah hafal betul oleh sopirnya.
Saat kami di Padang Magek, pesantren itu baru saja kehilangan pimpinan; Buya Salim Malin Kuniang yang wafat tahun 1987. Abak aku (Alm Ali Ibrahim) orang yang pernah lama mondok dulunya di Padang Magek, tinggal di Surau Lerong, yang berdekatan dengan Surau Tabiang. Dia melanjutkan ke pendidikan umum, dan tamat Sekolah Persiapan IAIN.
Jadi, soal Padang Magek dia banyak tahu, sehingga oleh Abak-nya Ali Mutamar dan Syamsuar Kamal, Abak dijadikan semacam juru bicara sesampai di Padang Magek.
Artinya, ketika menyerahkan kami ke guru melalui Mak Kakan dan Apuak Mahyuddin, Abak aku yang banyak bicara. Ketiga Abak kami ini bermalam semalam di Surau Tabiang. Sebelum mereka pulang pagi Kamis-nya, kami dipesankan untuk tidak boleh pulang kampung selama setahun. Di samping dikasih sedikit uang, mereka juga menitipkan uang ke Apuak Mahyuddin, tapi tak dikasih tahunya ke kami.
Cerita soal Buya Salim Malin Kuniang yang selanjutnya kepemimpinan pondok saat aku di sana di pegang Pak Suin, alias Suhaili Ya'kub, yang pensiunan PNS, banyak aku dapatkan melalui guru tuo dan guru-guru yang tua-tua. Saat datang ke pondok mengajar ilmu hadis, Pak Suin selalu stedi. Pakai celana, baju lengan panjang. Dia mengajar selalu pakai papan tulis. Hanya satu bidang studi itu Pak Suin mengajar. Sedangkan yang banyak mengajar kitab adalah Mak Anjang, Mak Nur di Pauah, Mak Kakan. Tiga orang guru itu sepertinya mewarisi betul keilmuan dari guru besar pesantren; Salim Malin Kuniang.
Tapi untuk belajar mengaji tetap dipegang Apuak Mahyuddin, yang kemudian dilanjutkan mendiang Tuo Zamzami dan Ajo Ismael.