Jutaan rakyat Indonesia akan kembali turun ke jalan-jalan di ibukota. Mereka menuntut keadilan dan kesetaraan hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tersangka penista agama. Permintaan mereka tidak muluk-muluk, tidak istana ataupun negara (makar), tapi hanya berharap Ahok dipenjara, seperti para penista lainnya.
Pemerintah seharusnya tidak perlu terlalu reaktif menyikapi persoalan ini. Sampai harus menyambangi satuan-satuan khusus dan elit militer yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menghadang gerakan rakyat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak sibuk menggusah asap, tetapi api yang nyata-nyata telah membara, tak kunjung dipadamkan. Persoalan ini sebenarnya cukup sederhana, namun karena penanganannya terlambat dan terkesan tertutup, masalah kian menjadi rumit.
Satu hal penting yang harus diingat Jokowi, aksi jutaan masa pada 4 November kemaren, merupakan bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap independensi Istana terhadap penegakan hukum. Ahok adalah wakil Jokowi saat menjabat gubernur DKI Jakarta. Ketika Ahok terbelit kasus, penanganannya sangatlah lama, dan Jokowi juga tak bersuara pada awalnya. Wajar saja rakyat menilai presiden berusaha melindungi temannya.
Meski kemudian Jokowi sudah menjanjikan bahwa kasus Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, namun rakyat masih akan kembali turun ke jalan, karena hingga sekarang Ahok belum juga ditahan. Inilah risiko hidup di negara demokrasi, bising. Pemerintah tidak boleh mengebiri keinginan rakyat menyampaikan aspirasi, itu hak mereka. Lagipula, dalam dua aksi sebelumnya mereka juga menggelar aksi dengan damai.
Karena itulah, Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta Jokowi untuk menerima aspirasi mereka dengan baik. “Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius,” tulis SBY di RMOL, Senin (28/11/2016), dalam artikel yang berjudul Pulihkan Kedamaian Dan Persatuan Kita.
Apa yang disampaikan SBY itu ada benarnya. Rakyat tidak membenci Jokowi, buktinya ia telah dipilih untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Karenanya, balaslah kepercayaan rakyat itu dengan cinta dan kasih sayang, bukan dengan tangan besi, menghadap-hadapkan mereka dengan Polri dan TNI. Itu hanya akan semakin melukai hati dan pikiran mereka.
SBY juga meminta Jokowi untuk memilah setiap informasi yang disampaikan kepadanya, meski sumbernya berasal dari orang terdekat sekalipun. Sebab bisa jadi isu makar yang santer berhembus beberapa waktu belakangan, sengaja dimunculkan orang-orang dekat Istana. Mungkin saja ada pihak di lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan kekuasaan, gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan presiden, pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.
Jangan sampai Jokowi termakan fitnah yang selalu memanas-manasi agar percaya ada pihak yang hendak menjatuhkannya. Semua harus waspada. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba. “Cegah dan batasi para pembantu presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity….”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H