Ketergantungan terhadap terigu membawa kita pada dilema tingkat tinggi ketika banyak berita yang mengatakan bahwa sebentar lagi Mi Instan Naik. Bukan hanya anak kos, keluarga-keluarga kelas menengah yang terjebak dalam kehidupan yang begitu-begitu saja juga akan kesulitan mendapatkan gorengan dari mamang mamang.
Terigu (bahan dasar mi instan) mau tidak mau menjadi bagian dari kehidupan orang indonesia. sebut saja beberapa makanan khas daerah yang ketergantungan dengan terigu. seperti mendoannya cilacap, bala-balanya orang bandung, Kue Lapis, Cuhcur, Putu Ayu, Kue Pancong, Dadar gulung dan masih banyak lagi.
Sayangnya gandum sebagai bahan dasar tepung terigu tidak tumbuh baik di indonesia. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian ahli-ahli pertanian dan urusan makanan tapi mau bagaimana lagi toh kenyataannya memang begitu. Secara geografis dan pencahayaan itu adalah sesuatu yang sulit diatur dan sebaiknya kita tidak memaksa melawan kehendak alam
Oleh karena itu pencarian alternatif tepung terigu adalah jalan yang panjang. Kita punya beragam hasil olahan yang penuh serat dan karbohidrat seperti singkong dan jagung. keduanya bisa menjadi tepung tersendiri yang sayangnya belum bisa menggantikan tekstur dan kegunaan dari tepung terigu
Selain dua hal yang umum itu sebenarnya indonesia (dan hutannya) kaya sekali dengan umbi-umbian hasil hutan sebut saja yang beberapa waktu ke belakang sempat viral. umbi ini adalah bahan dasar pembuatan tepung shirataki yaitu porang atau ada juga yang menyebutnya suweg atau iles.
Tumbuhan ini sekarang banyak ditanam paksa di lahan-lahan warga untuk mendapatkan hasil rupiah karena tidak sedikit pabrik yang membutuhkannya. padahal tumbuhan ini dulunya tumbuh liar di hutan-hutan. menjadi bahan pangan cadangan untuk orang-orang ketika musim-musim sulit datang.
Selain itu sebenarnya sedang ada usaha untuk menjadikan tanaman talas yang benar-benar liar untuk dijadikan pengganti tepung. beberapa balai penelitian sudah mengeluarkan ide tersebut sayangnya masih ada kesulitan untuk menghilangkan kalsium oksalat yang menyebabkan rasa menusuk-nusuk ketika memakan si talas ini. memang sih orang tua dulu merebus umbi yang satu ini untuk menghilangkan kadar kalsium oksalatnya tapi setelah direbus talas ini akan sulit untuk dikeringkan untuk dibuat tepung jadi serba dilematis memang.
Tapi perjuangan belum berhenti dan kita tidak perlu bersusah hati. ayo perlahan kurangi bahan pangan yang tidak bisa kita produksi dan kembali ke keselarasan dengan alam dan mengkonsumsi apa yang ada di sekitar kita. Panjang umur perjuangan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H