Apakah harus khawatir atau gembira menyaksikan hal ini? Inilah kenyataannya. Apa pun rasanya, tetap harus dikecap.
Ya, digitalisasi, itu yang terjadi saat ini. Dulu menulis, kini mengetik. Dulu mencurahkan isi hati di buku harian, sekarang bercerita pada laman Facebook. Banyak hal yang berubah. Tak ada lagi surat cinta dari sepucuk kertas untuk pujaan hati. Yang ada saat ini SMS, e-Mail, dan WhatsApp. Apa kertas memang tak lagi berguna?
Perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini cukup memudahkan kita untuk mendapatkan kabar terkini tentang dunia. Ini bukan hiperbola, tapi memang begitu adanya. Sekarang, satu klik saja sudah bisa mendapat sebuah informasi. Sedangkan tempo dulu, harus pergi ke perpustakaan atau ke toko buku untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan.
Lalu ke manakah kertas dan buku? Tetap ada, tetap berguna. Hanya saja, manfaatnya yang berubah dominasinya.
Sampai sekarang pun kertas masih memiliki peranan penting bagi umat manusia. Jika tidak lagi menjadi media tulis, maka kertas bisa diolah menjadi pembungkus, tisu, kardus, rokok, popok penyerap air, pembalut, dan lain sebagainya.
Ya, setidaknya masih banyak manfaat kertas. Tak dapat dipungkiri, kehadiran era digital saat ini cukup berpengaruh pada kehidupan dan kebiasaan. Tetapi tak semata-semata teknologi digital menjadi biang keladi atas perubahan yang terjadi.
Banyak manfaat yang dirasakan dengan banyaknya media-media daring dan sosial yang ada saat ini. Informasi dapat begitu cepat diketahui, menambah banyak teman dan jaringan walaupun hanya di dunia maya. Istilah kata, apa sih sekarang yang tidak bisa didapat dari internet? Lantas, kenapa harus khawatir?
Begini, gunakan saja analogi pisau. Pisau itu berbahaya atau tidak, tergantung siapa yang memegangnya. Begitu pula dengan internet atau media sosial. Manfaat atau mudaratnya itu tergantung dari siapa yang menggunakannya.
Sebenarnya ada satu hal yang patut dikhawatirkan, yaitu minat baca di Indonesia tetap saja kurang. Berdasarkan studi Most Literred Nation In The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Ini sangat ironis melihat begitu mudahnya sekarang untuk mengakses informasi di era digital. Sayangnya, keberadaan buku hanya dijadikan bahan referensi untuk mengerjakan makalah, skripsi, tulisan-tulisan akademis, dan laporan saja. Padahal buku juga bisa menginspirasi, membuka pikiran, dan membangun imajinasi.
Ayolah kawan, jangan membuat pabrik-pabrik kertas yang telah ambruk karena tertekan teknologi digital itu tambah kecewa. Jangan membuat media-media cetak yang bertranformasi menjadi media daring itu mengisap jempol karena tak ada yang membaca.